Kamis, 26 Februari 2009

Makna Kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia

Edy Prasetyono*


Tanggal 18 Februari 2009 besok, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton akan berkunjung ke Indonesia.

Banyak analis melihat kunjungan ini untuk memperbarui hubungan dengan dunia Islam, khususnya Indonesia, yang sangat strategis dalam melawan terorisme dan mencari pendekatan baru bagi penyelesaian konflik di Timur Tengah.

Peran China

Akan tetapi, kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia harus dilihat secara lebih luas.

Pertama, dorongan reorientasi Asia Timur dan Asia Tenggara. Kunjungan ke empat negara penting di kedua kawasan adalah untuk menyeimbangkan politik luar negeri AS yang selama pemerintahan Bush terperangkap dalam perkembangan di Timur Tengah sejak tragedi pengeboman WTC 11 September 2001. Selama periode itu negara-negara di kawasan ini merasakan kurangnya perhatian AS. Banyak upaya regional berjalan tanpa dukungan AS. ASEAN Regional Forum tidak mendapat dukungan signifikan dari AS. APEC yang diharapkan berperan dalam meringankan beban ekonomi negara- negara di kawasan justru didominasi isu yang mencerminkan kepentingan AS. Bahkan, AS selama pemerintahan Bush menunjukkan sikap skeptis terhadap multilateralisme di Asia Pasifik.

Akibatnya, negara-negara Asia Tenggara justru merasakan persahabatan yang lebih hangat dari China selama periode penuh tantangan keamanan dan ekonomi, misalnya saat China mengaksesi Treaty of Amity and Cooperation tahun 2003 serta menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea tahun 2002.

AS tentu tidak ingin melihat ”ketimpangan” ini berlanjut. Selama ini, the period of neglect dalam kebijakan luar negeri AS terhadap Asia Timur dan Asia Tenggara harus dibayar mahal dengan meningkatnya pengaruh diplomasi China. Kunjungan ke Indonesia menjadi amat penting guna menyeimbangkan kembali posisi AS. Indonesia adalah salah satu penggagas pembentukan Komunitas ASEAN. Secara geopolitik dan geostrategis, Indonesia adalah negara terpenting di kawasan. Baik AS maupun Indonesia mempunyai kepentingan bersama untuk tetap menjaga keterbukaan dan keseimbangan di kawasan.


Peran penyeimbang AS

Kedua, kunjungan Hillary Clinton hendak menegaskan keinginan AS untuk ”berperan” dalam regionalisme baru di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Krisis memang sempat menghantam beberapa negara di kedua kawasan ini. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan prospek pembangunan ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, India pun mulai berpaling ke Timur. Pembentukan ASEAN Community yang dideklarasikan tahun 2003 dan ASEAN Charter tahun 2008, kerja sama ASEAN+3, serta kerja sama Asia Timur yang melibatkan Australia, Selandia Baru, dan India, tidak mungkin selamanya dibiarkan AS. Terlebih Asia dan Eropa juga telah mengembangkan Asia Europe Meeting (ASEM). Sekali lagi, AS tampaknya ingin mengembalikan peran penyeimbang dinamika internal dalam kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara terhadap kemungkinan dominasi China di kawasan. Selain itu, AS juga mencoba kembali menyeimbangkan hubungan segitiga AS-Eropa-Asia. Posisi Indonesia harus dilihat sebagai bandul ASEAN yang telah mewarnai wajah dan karakter ASEAN sebagai penggerak regionalisme Asia Tenggara dan Asia Timur.

Ketiga, demokrasi adalah kepentingan semua negara, tidak hanya AS. Demokrasi, baik sebagai nilai maupun sistem, seharusnya menjadi soko guru hak rakyat dan pemerintahan yang akuntabel sebagai penopang upaya menciptakan perdamaian dunia. Perbedaan pandangan tentang demokrasi terletak pada operasionalisasi dan pendekatan, bukan pada hakikatnya. Perkembangan demokrasi di Asia Tenggara dan Asia Timur tidak kalah penting dari perkembangan politik di Timur Tengah. Bayangkan jika demokratisasi gagal atau melahirkan disintegrasi di Indonesia dan China. Saat Brigjen Vincent Brooks, Juru Bicara US Central Command Timur Tengah, ke Indonesia beberapa tahun lalu, saya menanyakan, setelah senjata pemusnah massal tak terbukti, apakah demokrasi menjadi alasan serangan AS ke Irak? Jika ya, mana yang lebih penting secara geopolitik dan geostrategis, demokratisasi di Irak atau di Indonesia?

Tidak ada jawaban. Jawaban itu seharusnya bisa ditunjukkan Hillary Clinton bahwa kita mempunyai kepentingan besar, yaitu ingin melihat demokratisasi berhasil. Dalam konteks ini, sebagai negara terbesar di ASEAN, dengan posisi yang amat strategis, demokratisasi di Indonesia adalah kepentingan semua pihak.




*Edy Prasetyono Pengajar Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia




Kamis, 19 Februari 2009

cakraWaLa institute

selamat datang



 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog