Senin, 14 September 2009

Catatan Kaki: Titik Balik Awalmula Perdagangan Internasional di Indonesia

By: Djali GafurManusia adalah mahluk sosial (zoon politicon). Hidup dan berinteraksi merupakan hal alamiah manusia karena dengan berinteraksilah manusia berinovasi dan membangun peradabannya. Salah satu interaksi manusia yang telah berlangsung sepanjang peradaban dibangun adalah upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan saling menukar barang atau barter. Barter kemudian merupakan aktivitas perdagangan paling kuno sebelum manusia mengenal alat tukar seperti uang. Pemenuhan ekonomi atau kebutuhan dengan cara barter dipandang telah memberikan kontribusi positif dalam perkembangan sejarah manusia karena barter menjadi mediasi untuk membentuk sosialitas masyarakat dan pada titik inilah intensitas interaksi manusia terbangun.

Perdagangan ala-barter dalam perkembangannya telah mempertemukan manusia dari segala penjuru belahan dunia, menyambungkan utara-selatan timur-barat dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda. Dalam historiografi modern, kita mengenal beberapa jalur perdagangan yang dapat menghubungkan Timur, Arab, Asia dan Barat salah satunya adalah jalur sutra. Jalur ini merupakan jalan penghubung yang mempertemukan timur jauh (gujarat, India, Arab) dengan pedagang dari Asia (China) negara-negara bawah anggin (Malaka, Nusantara) dan juga pedagang dari Eropa. Inilah awal interaksi perdagangan (ekonomi) paling intens yang sekaligus menjadi pertemuan antar budaya-budaya berbeda, suatu model perdagangan Internasional konvensional.

Kemunculan uang menjadikan manusia semakain mudah dalam menjalankan aktivitas perdagangan (ekonomi) dan barter perlahan mulai ditinggalkan meski demikian di beberapa tempat barter masih digunakan dalam perdagangan. Setelah penemuan Uang sebagai alat tukar ditambah dengan terbukanya jalur-jalur baru seperti Asia tenggara dan Amerika Latin membuat manusia berlomba-lomba untuk dapat menguasai jalur tersebut. Salah satu jalur yang menjadi primadona terutama dalam kurun waktu sekitar abad ke-13 s/d 16 adalah Asia tenggara terutama kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia).

Nusantara pada zaman Sriwijaya, Majapahit hingga Mataram adalah produsen utama rempah-rempah yang sebagian besar dibeli oleh pedagang dari China, Arab dan India. Dengan memanfaatkan Jalur sutra kemudian mereka menjualnya ke Eropa yang ketika itu merupakan pasar potensial untuk perdagangan rempah-rempah dengan keuntungan berlipat ganda.

Pada awal abad ke-15 Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia juga bukan kawasan yang paling dinamis. Semula Eropa merupakan aktor pasif dalam perdagangan internasional, dan hanya mengandalkan Konstantinopel sebagai pelabuhan utama pensuplai barang (rempah-rempah) atau kebutuhan yang datang dari pedagang China, India dan Arab. Namun situasi kemudian berubah. Pada abad ke-15 kekuatan besar yang sedang berkembang pada waktu itu adalah Turki Ottoman. Pada tahun 1453 Konstantinopel yang semula dikuasai Eropa kemudian ditaklukan dan dikuasai oleh Turki ottoman (Ricklefs 2007:61).

Kekalahan tersebut merupakan titik awal kebangkitan Eropa. Konstantinopel sebagai gerbang perdagangan Eropa telah dikuasai oleh Turki hal tersebut menjadikan barang-barang yang dijual ke Eropa yang masuk melalui Konstantinopel berlipat ganda harganya sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat Eropa. Hal tersebut mengancam eksistensi kekuatan eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Italia dll) dalam situasi terdesak akan kebutuhan sumberdaya alam untuk kemajuan ekonomi kerajaan maka muncul inisiatif melakukan ekspedisi-ekspedisi maritim untuk menemukan sumberdaya rempah-rempah tersebut.

Kemajuan dalam bidang navigasi perkapalan, geografi, astronomi, persenjataan, penemuan kompas dan peta kemudian mempermudah ekspedisi-ekspedisi tersebut. Mereka dapat membuat kapal-kapal besar yang mampu mengarungi samudera luas dengan persenjataan (meriam) sebagai alat pertahanan. Ketika zaman itu aura perang salib masih terasa kuat hal tersebut dapat dilihat dari doktrin suci yang ditanamkan untuk ekspedisi-ekspedisi ekonomi tersebut kemudian lahirlah semboyan Gold, Glory dan Gospel (3G) seakan menjadi mantra untuk menaklukan negeri bawah anggin (Malaka, Nusantara).

Titik terang ekspedisi Eropa adalah penemuan jalan menuju Mameluk (Maluku) negeri yang menyimpan rempah-rempah oleh bangsa Portugis. Pada tahun 1511 di bawah komando Alfonso de Albuquerque, Portugis dapat menguasai Malaka yang ketika itu merupakan jalur maritim perdagangan Internasional terramai di dunia yang menghubungkan Negeri atas angin, Timur tengah, China dan India dengan pemasok utama rempah-rempah dari Kepulawan Nusantara. Ini adalah titik yang sangat menentukan dalam sejarah Asia tenggara bahkan sejarah umat manusia.

Setelah penguasaan Portugis atas Malaka, membuat peta (Konfigurasi) perkembangan ekonomi mulai hancur, perdagangan kemudian digerakan dengan Instrumen kekerasan dan monopoli. Inilah masa yang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya “Arus balik” dipandang sebagai awal kebangkitan Eropa yang membuat Eropa begitu superior hingga sekarang dan menjadi akhir dari kejayaan Nusantara yang menimbulkan keterpurukan dan kemiskinan sampai saat ini. Sebelumnya Nusantara merupakan daerah yang maju dan sedang berkembang dari tradisional menuju fase modernisasi ekonomi, hal tersebut hancur lebur karena hadirnya ekspansi dari pedagang Eropa yang menghalalkan segala cara termasuk kekerasan dalam melancarkan misinya.

Kmenangan Portugis tersebut kemudian disusul berdirinya kartel-kartel ekonomi modern dengan maksud hendak menguasai sumberdaya ekonomi yang ada di Asia Tenggara. Maka hadirlah Spanyol dengan spanish Conquistadors, Inggris dengan British Empire, dan perusahaan kartel pertama di dunia Belanda dengan East India Company (VOC). Semuanya merupakan perusahaan-perusahaan transnasional raksasa yang digerakan dengan dana yang memadai, kakuatan maritim besar dan mendapat otoritas penuh dari masing-masing negara. Kehadiran perusahaan (Kartel-kartel) tersebut adalah fase perubahan menuju sistem perdagangan modern yang sistematis. Kesemuanya adalah organisasi internasional pertama di dunia yang lahir dan berkembang mengeruk kekayaan Nusantara dengan maksimal dan sistematis. Perusahan-perusahan inilah juga merupakan jembatan menuju kolonialisme yang menghadirkan keterpurukan selama berabad-abad hingga saat ini.

Inilah catatan singkat bagaimana perdagangan Internasional lahir dan berkembang di Nusantara. Di mana Superioritas Eropa dibangun dari perdagangan (Ekonomi) yang membuat tidak fair adalah mereka memeras habis kekayaan dan potensi tanah orang untuk membangun kemakmuranya sendiri. Suatu ketidak adilan yang dinafikan selama berabad-abad.

Minggu, 13 september 2009


Referensi:
Reid, Anthony. Dari ekspansi hingga krisis II (jaringan perdagangan global Asia Tenggara 1450-1680) Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 1999
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta, 2007
Ananta Toer, Pramoedya. Arus Balik (Novel Sejarah), Hasta mitra, Jakarta 2001
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali pers, Jakarta 2005
Gambar di sini



Sabtu, 05 September 2009

Merdeka di Bulan Puasa, Setelah Pemilu, Teroris dan Kematian

Irwan Bajang

SAYA baru sadar bahwa bulan ini, atau tepatnya momen belakangan ini adalah momen yang banyak sekali memotret pristiwa. Kalau kita amati, setidaknya dua bulan belakangan ini, sungguh bayak sekali pristiwa menomental yang terjadi. Mulai pemilu, lengkap dengan beberapa masalah dan juga kekurangannya, disambut dengan datangnya kembali teroris yang membuat huru-hara, lalu dilanjutkan kematian Mbah Surip dengan segala tetek bengek royalty RBTnya, juga kematian si Burung Merak Rendra, kemerdekaan Indonesia, dan bulan puasa. Bahakan, sebentar lagi kita akan lebaran, lalu di ujung bulan September, kita akan mengenang tragedy berdarah 1965 yang masih jadi misteri tak terpecahkan hingga saat ini, dan tentu saja banyak momen lain yang tak kalah penting dengan banyak kejadian di atas.

Saya baru sadar, ternyata saat inilah saat yang paling banyak momen beruntun dalam hidup saya. Saya tidak sedang ingin mebicarakan banyak hal yang barangkali terkait atau barangkali juga tidak. Saya hanya ingin melihat sebuah pristiwa yang paling transdental dalam sejarah bangsa kita, yakni kemerdekaan. Ya, kemerdekaan republik Indonesia yang ke 64.

Anda barangkali tahu ke mana arah pembicaraan ini. Saya akan menyoal lagi kemerdekaan Indonesia. Anda bosan? Atu anda ingin berhenti membaca dan melemparkan kertas ini ke keranjang sampah? Hahaha… tunggulah sejenak, saya ingin berbicara sesuatu. Mungkin hal ini sangat klise, tapi saya tidak juga sedang ingin mempermasalhakannya. Saya hanya ingin bertanya pada diri saya sendiri, apakah memang kemerdekaan ini sudah saya rasakan atau belum? Tentu saja akan saya jawab sendiri dengan apa yang saya rasakan saat ini.

17 Agustus 2009. Pagi-pagi sekali saya bangun, lalu menyalakan tv dan menonton. Berita-berita mengabarkan kemerdekaan. Mulai dari liputan jejak pahlawan, upacara bendera, hingga wawancara dengan para veteran perang di era perjuangan dulu. Saya berhamburan ke jalan, saya melihat banyak kendaraan memasang bendera merah putih ada yang besar dan ada yang pula yang kecil. Headline sejumlah surat kabar juga menggambarkan kemeriahan tersebut. Masih banyak lomba-lomba rakyat, balap karung, sendok kelereng, panjat pinang, sepak bola dangdut dan lain sebagainya. Semuanya ingin memeriahakan 17 Agustus, mewarnai kemerdekaan dan menikmati kebebasan tanpa Negara jajahan.

Apakah ini kemerdekaan sesungguhnya? Kemerdekaan yang penuh dengan pertunjukan tari di istana Negara? Kemerdekaan yang penuh dengan upacara bendera, pawai, karnaval dan lain sebagainya? Lalu kalau ada yang bertanya apakah saya sudah merdeka? Saya belum ingin menjawab. Saya hanya ingin menjabarkan pendapat saya.

Bahwa, kemerdekaan adalah saat-saat di mana rakyat jelata tidak kesulitan untuk mempertahankan hidupnya. Tidak sulit membeli bahan makanan pokok, yang harganya terus membumbung tinggi, Tidak sulit memperoleh minyak tanah yang harganya melangit dan sulit ditemukan, sementara elpiji juga dibayangi oleh kenaikan.

Bagi saya, kemerdekaan itu adalah saat-saat ketika para nelayan tidak kesulitan untuk melaut, mencari ikan untuk menyambung hidupnya. Tidak kesulitan untuk memperoleh solar untuk menghidupkan perahu motornya, tidak sulit menjual ikan-ikan hasil tangkapannya dengan harga yang pantas. Tidak lagi mengantungkan diri pada tangan-tangan dingin sang tengkulak.

Dan menurut pendapat saya (lagi), kemerdekaaan itu adalah saat-saat di mana para buruh dapat bekerja dengan tenang dengan UMR yang pantas dan tanpa dibayangi oleh PHK dan outsourcing yang sepihak. Tanpa harus mengeluh anak istrinya kelaparan, tanpa harus bingung mencari obat saat sakit. Tanpa harus jengah dengan biaya sekolah yang semakin melambung.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana para TKW dan pejuang-pejuang devisa, tidak diperlakukan seperti budak, yang disiksa, diperkosa, dan berita-berita tentang mereka tak kalah jadi headline seperti Manohara.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana anak-anak kita mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan murah, bahkan secara gratis, dapat sekolah di mana saja tanpa ketakutan ada pungutan-pungutan resmi maupun setengah resmi dan atau illegal tapi merasa resmi, tanpa rasa minder memasuki sekolah favorit yang kebanyakan dihuni oleh anak-anak dari orang tua yang kaya-raya.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana guru-guru dapat mengajar dengan tenang tanpa dibayangi oleh tuntutan kebutuhan rumah tangganya yang makin melonjak, tanpa harus menyambi jadi tukang becak, ojek atau pemulung, atau harus mengajar disekolah lain demi mencari tambahan penghasilan. Demi dapur tetap ngebul. Demi keluarga agar bisa makan.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana rakyat diperlakukan secara adil dan tidak pandang bulu di mata hukum. Copet uang lima ribu perak sudah babak belur dihakimi massa, bahkan hingga tewas, ditambah lagi harus mendekam di penjara, sementara koruptor boleh bebas sebebas-bebasnya, masuk penjara juga penjara rumahan, dapat hak istimewa, tidak dengan napi yang lain.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana rakyat jelata merasakan ketenteraman, tidak dibayangi oleh ancaman-ancaman terorisme, tindakan semena-mena, penggusuran dan penindasan. Kemerdekaan itu adalah saat-saat ketika bangsa Indonesia merasakan kebebasan, bukan saja secara politik, tetapi juga secara budaya, hukum, ekonomi dan social.

Kemerdekaan itu, seperti yang digambarkan oleh W.S. Rendra dalam puisinya berikut ini :

Negara tak mungkin lagi diutuhkan
Tanpa rakyatnya dimanusiakan
Dan manusia tak mungkin menjadi manusia
Tanpa dihidupkan hati nuraninya
Hati nurani adalah hakim adil untuk diri kita sendiri
Hati nurani adalah sendi dari kesadaran
Akan kemerdekaan pribadi
Dengan puisi ini aku bersaksi
Bahwa hati nurani ini mesti dibakar
Tidak bisa menjadi abu
Hati nurani senantiasa bersemi
Meski sudah ditebang putus di batang

Yogyakarta, 18 Agustus 2oo9
Ganbar diambil dari sini





Gambar diambil dari sini



Relationship between the Hindu majority and Muslim minority in Kasiman,Bali (especially after the Bali bombings)


By: Jenny Zhu & Gafur Djali


Background on Topic:


Within Indonesia, Islam is the majority religion, with roughly 88% of the population who identify with the Muslim religion. However, even though Indonesia is a majority Muslim state, geographically, Bali is a major exception. The Hindu religion, a minority religion within the whole country of Indonesia, is the dominant religion in Bali (93% Hindu). The historical context and reason for the influx of Hindus in Bali is still highly contested.

In the past few years, there have been two major occurances, deemed “terrorist attacks,” in Indonesia. In October of 2002 and 2005, there were a series of suicide bomb attacks in Jimbaran and Kuta near or in major tourist night clubs. Roughly, 20 people were killed and 129 people were injured, most of whom were Australian and foreign tourists. There were many domestic and international reports on the incident, and many claimed that it was a religious dispute, specific to the Islam community.

Official reports in the media theorized that the suicide bombers were radical Islamists who felt it was their religious obligation to attack social institutions that were contrary to their religious doctrines and beliefs. As a result, these bombers deemed Westerners as their enemy and wanted to attack Western influences, such as the nightclubs, to fulfill their religious duties.

This theory created much outrage within Indonesia, especially within the Islamic community. Specific to Bali, these incidents created much tension between the Hindu majority and Islam minority.


Research Questions:


After the bombings in Bali, how has the Islam and Hindu religious communities been influenced? How have the relations between the two religions changed? What are their perspectives of each other?

Why this question is important?

We were both initally very interested in the idea of majority-minority religions within Indonesia. More specifically, we found the religious breakdown within Bali of major interest, due to the sustainability of this community even though it deviated from the rest of Indonesia. Overall we have felt that the relationship between Hindus and Muslims in Bali have been relatively beneficial and harmonious thus far. With this in mind, we were interested in the effects of the Bali bombings and its religious implications on the two religions in Bali and whether the relationship is still beneficial or tensions have arised that are not being publicly discussed.

This topic is important because we feel studying the relationships between majority and minority populations are essential in understanding the social, political and economic dimensions of any community. Bali is a very unique community due to its exceptional ability for two major religions to coexist, at least on the surface. But after the two bombing incidents within Bali, the relationships between the majority and minority religions could have been impacted in ways that are not noticable or understandable through publicly dispersed media. This lack of understanding on the current relationships between the two is our point of interest, as we feel it is important to see the changes between the two and question the dynamics of the two communities.



Methodology

What are we going to do?


Our research will be heavily based on anthropological fieldwork, through observational data and interviews, and also some general research on the demographics of the two religions within Bali and media reports on the bombings that were widely dispersed.

We were planning to visit a small Muslim community within Bali to observe their living situations and religious practices. Afterwards we will interview various members about their reactions to the Bali bombings, their opinions of the Islam community, the relationship between the two religions and whether this has changed. We were careful to take into account that many Indonesians would not be comfortable in a very formal, interview session, so we were hoping to interview them without the formal list of questions or to be frantically scribbling down notes. Hopefully we can use a voice recorder and try to put them at ease. We will then apply a similar setup to observe and interview the Hindu community, by focusing on Teman 65 and Jenny’s homestay family.


Why these particular methods?


Due to the nature of our research questions, we feel anthropological fieldwork is important to understand the various perspectives of the two religious communities. We did not want to rely on official reports on the perceived relationships between the two and wanted to personally establish a more intimate interview to get a better sense of how they feel.

We also felt it would be important to look at the nature of the public reportings of the incidents to contextualize the potential influences that would prompt the change of feelings within both religious communities in Bali. And the demographics are all part of our general background research of the Hindu and Islamic religions specific to Bali.



Participant-Observation Fieldwork


For our field research, we conducted field observation with the intention of getting a better understanding of the Muslim and Hindu practices and communities in Bali. For our first outing, we attended the Hindu ceremonies that occurred throughout Bali. We observed the ceremony that occurred in Taman 65 and a small village ceremony near Jenny’s homestay. In addition, we also drove around the streets as there were prayers and festivities being held publically on the streets. For our field observation of the Muslim community, we went to a large mosque in Denpasar across from the police station and also a smaller, more intimate version of a mosque called Mushola in a small Javanese Muslim village.


What did you learn from this experience?


After a week of field observation, we feel we have a better understanding of the differences and commonalities between the two communities. We thought it was an ideal time to observe and compare the large scale ceremonies that occur twice every month for the Hindu community and just the daily prayers that occur five times a day in a Muslim mosque. Although this type of field research didn’t provide us with a lot of concrete information beyond a superficial glimpse of the religious practices held at each prayer, we found a few interesting points that could be linked to our study of the relationships between the majority and minority religious communities in Bali.


We were surprised to see the difference in the “visibility” of the two religions in Bali. We thought the Hindu community was much more open and inviting with their religious practices as compared to the Muslim community. For example, it has become a daily struggle for us to avoid stepping on the abundance of Hindu offerings on the sidewalks. Moreover, on practically every sector of the street, we can see women making and selling these offerings – women who would gladly teach outsiders how to make offerings. This sense of openess and visibility in the Hindu community became even more apparent when we observed the large scale Hindu ceremonies. People were praying openly on the streets and were walking around freely in their religious attire all day. And as long as you tried to assimilate to the customs and rules of their religious prayer, practically anybody could join the ceremony, as all the Haverford students were invited to attend and take pictures of the whole ordeal. The Muslim community however was much less visible in Bali. Access to Muslim mosques or communal religious spaces is noticably less convenient, and the prayer ritual is more private and contained indoors. For Jenny, a woman and an outsider to the religion, it was impossible for her to enter the mosque or even take pictures explicitly; whereas she had a certain level of access and invitation in the Hindu community. Although this might be the nature of Muslim prayer practices, we did think it was worthy to note the contrast in the general level of awareness or visibility of the two religions. It was very obvious and easy for the Balinese community and even outsiders to get acclimated and become aware of the daily Hindu offering practices and the ceremonies, whereas the Muslim community was much more reserved and people can barely hear the calls for prayer that occur five times a day. This contrast can be easily explained by the dynamics of majority-minority relations in that the majority is ofcourse more apparent, but we were still very surprised to see that those within the Muslim community embraced a very exclusive communal attitude.


From our field research, we also started to question our conceptions of the “coexistence” and the lack of visible “confrontation or resistance” between the two religious communities. We entered our research with the assumption that there is a level of peaceful coexistence between the two religions, in that the Hindu community never imposed on the Muslim minority and that there potentially might be some type of integration and acceptance of the Muslim community within the majority Hindu community. But from our field research, we felt the two communities were very divided not only in terms of their residence but also their daily social circles. For instance, it took us quite some time to locate a large Muslim community and we had to travel quite a bit in order to arrive at a Javanese Muslim community. From our short trip, we thought the Javanese community was less populated and the atmosphere differed from the bustling streets of Denpasar. The people were less receptive to us and the community seemed very closed off and disinterested in outsiders. Moreover, even when we visited a very official and impressive mosque in Denpasar, there weren’t a lot of people lingering around and many left directly after completing the prayer. Overall there was a lack of interaction between the two religious communities, as the Muslim community was confined (perhaps willingly) to a close-knit community that was separate from the mainstream parts of Bali. This lack of interaction might just explain the apparent lack of tension, because in order for conflict to be visible, interaction must necessarily be present first.



What were the challenges?


One major and relatively obvious challenge we encountered was the inability to integrate into the community or to even visit these places more than once due to the limited time frame for field observation. As outsiders to these communities, it was a challenging task to get genuine observational information because we didn’t know whether their activities were influenced by their uneasiness with the presence of foreigners. We weren’t able to build an intimate relationship with the people we observed; so generally we felt our findings only provided very superficial information that was potentially skewed or bias. More specifically for the Muslim community, it was hard for both of us to freely enter this community as we were both outsiders, especially since Jenny didn’t identify with the Muslim religion. We struggled to break down this barrier between the community of interest and our role as observers.


Another challenge we encountered was a logistical one since Muslim communities are hard to find in Bali. Moreover even though we were lucky to find a Muslim village, it was challenging to simply observe without attracting a lot of attention and suspicion. With this realization, we also recognized how hard it is to enter and integrate oneself into any minority community. In the case of Bali, the Muslim minority is on the outskirts of the island and is very segregated from the rest of the Hindu community. So as observers, we had to be mindful of their suspicions of outsiders and to try to get observational data without imposing ourselves in a burdening way.


Lastly we found observational fieldwork to be a challenging process on its own. The practice of sitting and observing for the purpose of gathering data while maintaining an open mind is a relatively complicated task. Sometimes we found ourselves sitting there not knowing what to find interesting or thought-provoking; whereas, at other times, we questioned whether our observations are really as substantive as we made it seem. But as we were reflecting on our experiences, we found it really helpful if we had overlapping points of interest and were able to share our different views on the data.


What kinds of questions did this experience provoke?



· To what extent is the Muslim community really integrated within the Hindu majority community in Bali? Is the lack of tension between the two religious communities really due to genuinely favorable relationships between the two or just due to the lack of interaction?


· Do Javanese Muslims feel disconnected from the rest of Bali?


· Does the overwhelming presence of Hindu practices bother Muslims in Bali? Are they comfortable with the level of visibility of their own religious community?


· How much interaction is there between the Hindu and Muslim communities? In what aspects or social spheres is there the most/least interaction or communication? When is this interaction unfavorable/favorable?

Link picture: http://www.lookingattheleft.com/wp-content/uploads/2008/11/bali1301.jpg


Jumat, 04 September 2009

DEMOKRASI KACAMATA KUDA

By: Gafur Djali


Kompetisi telah usai, saatnya kita bersatu

Begitu pidato SBY ketika dipastikan kembali menduduki Istana keperesidenan untuk masa jabatan 2009-2014. Suatu pidato yang sangat simpatik namun bermakna ambigu.

Pertama, pidato SBY tersebut merupakan langkah positif untuk meredakan situasi pasca pergulatan panjang menuju RI satu. Di mana masing-masing calon diliputi ketegangan menantikan hasil pemilihan yang tenyata tidak sesuai dengan target dan harapan.

Kedua, pidato tersebut memandang bahwa perolehan suara merupakan hasil final dari proses pemilu sehingga mencoba menafikan kecurangan dan kekeliruan yang terjadi di lapangan. Wal hasil protes lewat jalur hukum untuk menggugat hasil pemilu datang dari berbagai pihak karena dinilai memiliki banyak kekurangan dan kecurangan yang ternyata menguntungkan calon incumbent (SBY-Boediono).

Ketiga, pernyataan tersebut mermakna bahwa pemerintahan SBY hendak merangkul semua golongan di bawah komando SBY/Partai Demokrat untuk membentuk suatu blok besar dalam pemerintahan. Hal tersebut sama artinya hendak meminimalisir atau meniadakan samasekali oposisi dalam pemerintahannya.



Kekuatan di Parlemen


Memang sangat prematur bila kita memandang rezim SBY sekarang sedang membangun kekuatan tunggal dalam parlemen yang akan merongrong aura demokrasi di Indonesia. SBY- Boediono secara hukum akan dilantik pada 10 November nanti. Namun pergulatan di parlemen dan di meja kepresidenan beberapa hari terakhir ini cukup alot. Pergulatan di parlemen terjadi dalam hal penentuan kursi legislatif dan pencalonan ketua DPR. Mari kita simak komposisi kursi di parlemen yang dikeluarkan oleh KPU pada kamis, 3 september 2009. Secara keseluruhan kursi di Parlemen berjumlah 550 yang terdiri dari Partai Demokrat 145 kursi, Golkar 102 kursi, PDI Perjuangan 93 kursi, KPS 57 kursi, PAN 46 kursi, PPP 38 kursi, PKB 27 kursi, Gerindra 25 kursi, hanura 17 kursi, dan disusul partai kecil lainnya.


Bila melihat komposisi parlemen di atas kemudian sambungkan dengan partai pendunkung SBY-Boediono pada pemilu lalu, seperti Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PPP maka secara keseluruhan jumlah kursinya adalah 313 kursi atau sekitar 60%. Belum sampai disitu hasil rapat petinggi Golkar memutuskan bahwa Golkar siap bergabung dengan koalisi yang dipimpin Partai Demokrat/SBY. Bermakna kekuatannya kini bertambah menjadi 415 kursi atau sekitar 80% kursi di parlemen. Belakangan muncul rumor bahwa Taufik kiemas petinggi PDI perjuangan dan juga suami dari Megawati, hendak mencalonkan diri menjadi ketua DPR-RI. Menufer politik ini dinilai merupakan upaya PDI Perjuangan untuk masuk dalam koalisi besar SBY, karena saat ini koalisi yang dipimpin Partai demokrat tersebut menjadi penguasa diparlemen.


Hal tersebut bermakna kekuatan oposisi yang semula diprediksi akan muncul dari koalisi Golkar, PDI perjuangan, Gerindra dan Hanura sirna sudah. Tak salah jika dikatakan executive heavy (pemerintah terlalu kuat) karena didukung oleh koalisi yang menguasai hampir 95% suara di parlemen. oversized coalition ini akan berdampak pada jalannya pemerintahan yang berjalan tidak evisien seakan tanpa kontrol dan penyeimbang.


Demokrasi mau kemana?


Situasi ini patut dicermati dan dikaji bersama. Kekuatan parlemen yang didukung oleh koalisi besar yang menguasai hampir 95% suara memiliki dampak yang cukup signifikan baik positif maupun negatif. Pada tataran positif tentunya jalannya pemerintahan akan semakin lancar karena kontroversi di perlemen menjadi berkurang. Namun pada tataran negatif maka banyak hal yang akan terjadi dimana kurangnya check & balance dalam jalannya pemerintahan. Selain itu banyaknya partai yang masuk dalam koalisi berdampak pada jatah masing-masing partai dalam pemerintahan. Bergabung dalam koalisi sama artinya mengamankan jatah masing-masing partai dalam pemerintahan. Suatu langkah oportunis, Indikasinya sudah muncul dengan riuhnya ajang penentuan menteri yang akan duduk di kabinet SBY-Boediono.


Apakah demokrasi sedang dirongrog? Tentunya itu pertanyaan yang sulit dijawab. Yang jelas dalam situasi ini seakan sedang didorong pada pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, didukung oleh kekuatan parlemen yang kuat dan tanpa oposisi. Situasi yang sangat rentang dengan otoriterisme dimana penguasa menemukan diri sebagai kekuatan tunggal dengan kontrol yang longgar sehingga mampu menghasilkan kebijakan sesuai dengan kepentingan individu/kelompok.


Dalam demokrasi kita mengenal kekuatan ada di tangan Rakyat, supremasi hukum sebagai senjata dan kebebasan pers & media massa sebagai corong aspirasi. Bila pemilu dipandang sebagai ajang penyerahan mandat dari rakyat kepada wakilnya sehingga seakan rakyat kemudian kehilangan mandat untuk beraspirasi, maka di sinilah letak kelemahan demokrasi kita. Selain itu ketegasan penegakan hukum di Indonesia juga belum menemukan bentuknya, simak saja bagaimana sengketa pemilu (DPT) diselesaikan pada tataran politik sedangkan kasus tersebut seharusnya diselesaikan pada tataran hukum. Hukum kemudian dinilai sebagai pemanis politik semata?


Pilar selanjutnya adalah pers & media massa, perkembangannya akhir-akhir ini sangat pesat dan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Namun perkembangan pers & media massa di Indonesia perlu dicermati lagi karena semuanya merupakan institusi bisnis yang menjunjung tinggi pendapatan/laba. Banyak dari contents atau isinya memuat berita yang justeru meresahkan masyarakat. Pers & media kemudian menjadi corong penguasa/donatur/sponsor/pemilik saham. isinya sudah dapat ditebak sangat jauh dari kebutuhan masyarakat banyak. Kedepannya akan banyak parlemen jalanan yang digelar. Hal tersebut sangat rasional karena DPR yang merupakan salah satu media aspirasi Rakyat telah ompong dan justru beroposisi dengan kekuasaan tanpa oposisi. Parlemen jalan kemudian dinilai sebagai gerakan sadar untuk menggantikan kekuatan legislatif yang ompong dan kekuatan pemerintah yang lupa terhadap rakyatnya.


Semuanya menjadi catatan besar dalam proses bernegara kita layaknya “demokrasi kacamata kuda” maunya lurus-lurus saja sesuai kemauan si-penunggangnya. Kurangnya check & balance sama artinya menghindari proses dialektika. Imbasnya adalah kemunduran perlahan tapi pasti.




 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog