Sabtu, 30 Oktober 2010

Menakar Nasional(isme) Anak Pesisir

Strategi pengelolaan Lingkungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Lewat Hukum Sasi

Oleh: Gafur Djali



Abstrak

Masyarakat pesisir adalah potret buram kemiskinan di negeri ini. Ketimpangan pembangunan akibat strategi pembangunan yang kurang adil dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi atau ulah manusia adalah situasi yang semakin menyudutkan masyarakat pesisir. Di saat peran struktural pemerintah urung terlaksana, maka dibutuhkan strategi pengembangan berbasis pada kekuatan kultural masyarakat, komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Strategi tersebut sebagai upaya pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Pada tulisan ini, saya meminjam kebijakan adat yang umumnya dijalankan di Maluku. Pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, berbasis pada kearifan lokal masyarakat Maluku. Yaitu hukum Sasi.


“Nenek moyangku seorang pelaut, maka di laut kita jaya”
Kita semua mungkin sangat akrab dengan ungkapan di atas. Terlebih bagi saya, anak pesisir yang dididik oleh laut. Bagi saya, laut seakan jadi tempat bermain sekaligus rumah yang sangat nyaman. Ungkapan di atas terkadang jadi yel-yel atau nyanyian ketika kami (anak-anak pesisir) sedang memancing, berenang atau sekadar bersantai di pantai bersama teman-teman. Ketika itu, kami sungguh yakin bahwa daerah pesisir (pantai dan laut) adalah tempat paling menyengkan di muka bumi. Dari pesisir pantai, mata begitu luas memandang, menatap cahaya mega senja yang menembus kolong-kolong langit, tanpa batas sampai menyentuh garis cakrawala. Menyelami dasar laut membuat kami seakan menemukan surga kehidupan penuh warna. Kami seakan menemukan kawan-kawan baru, bermain bersama ikan-ikan aneka spesis, terumbukarang aneka bentuk serta biota laut lainnya.

Laut membuat imajinasi kami menjadi liar. Bila ada yang bercita-cita menjadi Marinir, Atlit renang nasional atau Penyelam, itu akan jadi bahan tertawaan bersama. Tak jarang dari kami ada yang bercita-cita menjadi ikan. Alasannya sederhana, saya ingin bebas pergi kemana saja saya suka. Berenang menyeberangi teluk, selat atau lautan luas. Mengunjungi samudera biru, merasakan dinginnya Antartika atau mencicipi hangatnya laut Florida. Sungguh suatu cita-cita yang imajiner. Selain itu, kami juga begitu akrab dengan berbagai ritual-ritual adat yang sering diselenggarakan. Ketika itu, kami tidak mengerti banyak hal. Kami hanya pahami bahwa laut dan manusia adalah saudara, maka kita harus saling menjaga.

Dalam kacamata kecil kami, laut seakan jadi anugerah bagi kami masyarakat pesisir. Pemandangan yang indah, ikan, kepiting, teripang, udang, rumput laut, mutiara dan masih banyak lagi. Semuanya ada di sini, telah tersedia secara alamiah dan kami bisa mengambilnya kapan saja kami mau. Para nelayan begitu piawai menaklukan laut. Perahu atau kapal nelayan selalu bersandar di dermaga dengan hasil tangkapan yang memuaskan. Kehidupan kami sederhana, boleh dibilang mencukupi untuk standar sandang, pangan, papan, akses pendidikan dan kesehatan. Pengalaman di atas hanyalah ilustrasi dari sebuah desa kecil di pesisir utara pulau Ambon. Dan mungkin dapat menjadi potret masyarakat pesisir di Indonesia.


Wilayah Pesisir yang Terlupakan

Belakangan, saya baru menegerti, apa yang selama ini kami amini sebagai anugerah ternyata berubah menjadi kutukan. Karena di belahan dunia lain, meski kekayaan negeri ini melimpah ruah, masyarakat pesisir adalah masyarakat yang akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Semuanya dapat secara kasatmata di lihat. Gubuk-gubuk reot sepanjang bibir pantai dan perkampungan kumuh jadi pemandangan biasa. Kesehatan dan pendidikan terkadang jadi barang mewah. Dapat dihitung dengan jari, hanya segelintir orang saja yang dapat melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi atau mendapat akses kesehatan. Suatu ironi yang sungguh memilukan.

Masyarakat pesisir adalah potret buram kemiskinan di negeri ini. Semakin panjang garis pantai, maka semakin banyak penduduk miskin Indonesia. Saya melihat kemiskinan yang terjadi diakibatkan strategi pembangunan yang kurang tepat. Selama ini, terutama ketika Orde Baru, geliat pembangunan hanya terkonsentrasi di wilayah darat (continental orientation) sedangkan pembangunan wilayah laut (maritim orientation) cenderung terlupakan. Sektor kelautan dan perikanan dianggap sebagai sektor pinggiran (peripheral). Model pembangunan ini secara struktural, selain menciptakan pembangunan yang timpang juga telah menciderai arti Indonesia sebagai negara maritim atau negara kepulauan.

Ketimpangan pembangunan tersebut diperparah dengan kerusakan lingkungan. Pada Januari 2009, Kementrian Kelautan dan Perikanan memaparkan bahwa, dari total luas wilayah perairan Indonesia yaitu 5,7 juta kilometer persegi. Seluas 3,9 juta kilometer persegi atau sekitar 70 persen dalam keadaan rusak ringan hingga rusak berat. Hanya Seluas 1,8 juta kilometer persegi atau 30 persen yang kondisinya masih baik. Kerusakan tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti rusaknya hutan bakau akibat abrasi pantai atau pembangunan. Penangkapan ikan dengan bahan beracun atau bom sehingga merusak karang atau biota laut. Sampah dan zat kimia yang di produksi rumah tangga atau industri, dan masih banyak lagi persoalan struktural maupun non struktural yang memperparah kerusakan wilayah pesisir, perairan atau laut tersebut.

Kerusakan wilayah perairan khususnya wilayah pesisir tentunya akan menjadi kabar buruk bagi masyarakat pesisir. Praktis, masyarakat pesisirlah yang akan terkena dampak langsung dari kerusakan lingkungan tersebut. Ketika tempat yang selama ini dijadikan sebagai tempat hidup dan menafkahi keluarga telah rusak sama artinya kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir sedang terancam. Sangat sulit membayangkan peningkatan kesejateraan masyarakat pesisir bila rusaknya kondisi perairan. Kerusakan lingkungan tersebut secara otomatis akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat pesisir.

Kondisi tersebut diperparah dengan beberapa kebijakan pemerintah. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif dasar listrik, melonjaknya harga kebutuhan pokok dan lainnya, ternyata juga berimbas langsung bagi para nelayan. Untuk melaut diperlukan biaya ekstra, membeli BBM atau es balok dll. Kerusakan wilayah pesisir memaksa para nelayan memperluas daya jelajah bahkan sampai ke laut samudera. Bila cuaca dan musim sedang baik itu jadi nasib baik bagi para nelayan. Namun bila cuaca memburuk, untuk menutupi biaya melaut saja tidak cukup dan terkadang banyak yang mengalami kerugian. Ketika laut sudah tidak dapat lagi dijadikan sandaran hidup di tengah kebutuhan perut yang semakin mencekik, maka sangatlah mungkin banyak dari nelayan akan memilih beralih profesi. Menjadi buruh pabrik, tukang ojek atau urbanisasi mencari pekerjaan di kota adalah pilihan sulit, yang mungkin saja akan di tempuh untuk sekadar menyambung nafas.

Kita semua menyadari, bahwa masyarakat pesisir kini dikepung dari dua arah secara bersamaan. Ketimpangan pembangunan akibat strategi pembangunan yang kurang adil dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi atau ulah manusia itu sendiri. Bukanlah suatu kemustahilan untuk dapat keluar dari kesulitan tersebut. Saya dapat sedikit bersyukur karena wilayah pesisir di daerah kami masih terjaga kelestariannya meski ada potensi kerusakan di beberapa titik. Namun, semuanya bisa dikontrol lewat kebijakan adat masyarakat setempat.

Dalam tulisan ini, saya akan paparkan sedikit pandangan subjektif saya tentang strategi pengembangan masyarakat pesisir. Strategi pengembangan yang berbasis pada kekuatan kultural masyarakat, komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Terutama meminjam kebijakan adat yang umumnya dijalankan di Maluku. Yaitu hukum Sasi.


Pengelolaan Wilayah Pesisir

Saya meyakini bahwa tidak ada perubahan tanpa kesadaran. Saya pikir ada baiknya bila kita belajar dari kegagalan atau kurang optimalnya beberapa program pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir. Menurut saya, kegagalan dikarenakan program tersebut belum mampu menyentuh kesadaran masyarakat secara langsung. Pemerintah terkadang menjalankan program-program yang terlalu kaku, sukar diadaptasi atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saya menilai, hal tersebut disebapkan kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam merancang, menjalankan atau mengkoreksi program-program pemerintah tersebut. Dalam posisi inilah, masyarakat pesisir terkadang menjadi objek kebijakan bukan sebaliknya menjadi subjek kebijakan itu sendiri.

Untuk menjawab persoalan di atas. Maka, saya memandang dalam pengelolaan wilayah pesisir dibutuhkan ketepatan antara pengelolaan secara kultural maupun secara struktural. Saya meyakini dalam setiap struktur masyarakat tentunya memiliki kearifan lokal masing-masing. Keunikan budaya yang lahir dari persinggungan manusia dengan alam maupun manusia dengan manusia. Khususnya masyarakat pesisir, terutama masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku memiliki struktur adat yang kemudian mampu diadaptasi untuk pengembangan wilayah pesisir. Masyarakat Maluku pada umumnya merupakan masyarakat yang mendiami pesisir atau pulau-pulau kecil. Sehingga kelestarian lingkungan menjadi harga mati. Dalam tradisi adatnya, masyarakat Maluku mengenal hukum Sasi.

Hukum Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati alam (hewani maupun nabati). Sasi memuat peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan rapat Dewan Adat. Keputusan adat tersebut kemudian dilimpahkan kepada Kewang. Kewang adalah suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan sasi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Prosesi sasi terdiri dari dua bagian yaitu tutup sasi (pemberlakuan larangan) dan buka Sasi (pencabutan larangan). Keduanya melalui suatu prosesi adat yang sakral dan melibatkan seluruh masyarakat. Bila ada yang melangar sasi, akan mendapat sangsi. Sangsi dapat berupa sangsi material maupun sangsi adat. Masyarakat percaya bahwa melangar sasi merupakan pelangaran berat, bahkan dapat berdampak musibah bisa berupa sakit atau kematian bagi si pelangar. Kondisi tersebut membuat prosesi hukum sasi dapat berjalan lancar dan optimal, karena masyarakat sadar pentingnya sasi dalam hidup.

Contohnya adalah Sasi meti. Merupakan jenis sasi yang paling umum dan hampir dapat ditemui di seluruh masyarakat pesisir Maluku. Sasi meti adalah sasi yang diletakan pada batas zona pasang surut air laut. Fungsinya agar supaya tanaman dan organisme laut lainnya dapat berkembang biak. Karena pada zona tersebutlah banyak hidup biota laut seperti ikan, teripang, kerang dll. Pada hari yang ditentukan untuk buka sasi, masyarakat akan berkumpul dan melakukan panen bersama.

Yang paling unik adalah prosesi sasi ikan lompa (Trisina baelama) di pulau Haruku, Maluku. Ikan lompa adalah sejenis ikan sardin kecil yang dapat hidup di dua alam yaitu air tawar dan air asin. Ketika acara tutup sasi, masyarakat dilarang menangkap ikan tersebut, sehingga populasi dan regenerasi ikan tersebut dapat dinamis. Anda mungkin akan berdecak kagum atau terheran bila melihat prosesi buka sasi ikan lompa di Haruku. Pada waktu buka sasi tiba, masyarakat akan berkumpul di pertemuan dua alam (sungai dan laut). Pemangku adat akan mulai menjalankan prosesi adat. Tifa mulai di tabuh dan gong di talu, seketika itu juga ikan lompa akan datang mendekati asal suara tersebut dan masyarakat dipersilahkan untuk memanen. Hasil panen kemudian dikumpulkan dan dibagi secara adil sesuai dengan hitungan yang telah di tentukan oleh adat.

Itu hanyalah beberapa contoh kecil praktek hukum sasi di Maluku dan masih banyak lagi bentuk objek hukum sasi yang lain. Hukum sasi memiliki dampak positif bagi hubungan manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam. Bentuk harmonisasi dalam menciptakan keseimbangan kehidupan. Ada empat aspek penting yang dapat kita pelajari dari hukum sasi. Pertama, Aspek budaya dan kepercayaan. Sasi berhubungan erat dengan konsep kepercayaan atas kekuatan alam, roh-roh leluhur dan agama. Kedua, Aspek politik dan administrasi. Pelaksanaan Sasi memerlukan pelembagaan atau organisasi yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat lewat mekanisme adat. Ketiga, Aspek ekonomi. Sasi adalah bagian dari sistem ekonomi dan sistem pengelolaan sumberdaya alam. Sasi membatasi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Serta dapat menjadi semacam tabungan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Keempat, Aspek ekologi. Sasi memperhatikan pengelolaan sumberdaya alam yang menjunjung tinggi kesinambungan ekosistem dan kelestarian lingkungan.


Kesimpulan

Saya percaya, masih banyak kearifan lokal lainnya yang dapat digali dan diterapkan dalam upaya pengembangan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Kearifal lokal tentunya menjadi solusi alternatif di tengah buntunya peran struktural pemerintah. Adaptasi pengembangan masyarakat berbasis kearafan lokal juga dapat berfungsi sebagai benteng di tengah derasnya arus modernisasi yang mengancam eksistensi budaya lokal.

Sampai pada titik inilah, nasional(isme) bagi kami sebagai anak pesisir bukanlah semata dimaknai sebagai patriotisme dan pengabdian pada bangsa. Nasional(isme) bagi kami adalah sesuatu yang begitu dekat, sangat dekat sekali. Kami bahkan merasakannya mengalir dalam aliran darah kami. Nasional(isme) bagi kami adalah melestarikan lingkungan milik anak cucu yang saat ini sedang dititipkan pada kami. Pantai, laut, terumbukarang, ikan, teripang, mutiara dll, semuanya adalah titipan yang harus kami jaga dan untuk dikembalikan kepada anak cucu kami. Tugas yang terlampau berat tentunya, tetapi kami dapat berbesar hati karena memiliki kekuatan adat (kearifan lokal). Warisan budaya leluhur yang harus kami junjung tinggi, kami jalankan dan kami patuhi bersama. Seperti pesan para tetua-tetua adat, pesan yang kami yakini sampai detik ini. Laut adalah saudara laki-laki, sesama saudara harus saling menjaga dan mengasihi, maka hiduplah dari alam tetapi jangan lupa untuk menghidupi alam.



Jogjakarta,Senin 20 September 2010
Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)


Kamis, 28 Oktober 2010

Membangun Semangat Kewirausahaan Untuk Masyarakat Wilayah Pinggiran

Oleh: John Petrus Talan



Pengganguran merupakan persoalan yang krusial bagi Indonesia. Kemiskinan lalu menjadi konsekuensi logis dari tingginya tingkat penganguran. Kenyataan yang paling sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pemberitaan oleh media massa, tontonan di lampu merah bahkan sampai waktu makan di restoran atau warteg tepi jalan. Pengemis, Pengamen, Jambret merupakan pelarian masyarakat ketika tak punya harapan untuk hidup layak. Mereka adalah anomali yang terlempar dari sistem masyarakat, karena akrab dengan pengangguran dan kemiskinan dalam sebagian besar pengalaman hidup mereka. Fenomena kota besar.

Di wilayah pinggiran kenyataan serupa dalam bentuk yang berbeda tak sulit ditemukan1. Busung lapar, bunuh diri sering muncul dalam berbagai pemberitaan media massa. Akibat dan tindakan frustrasi masyarakat yang paling sering ketika berhadapan dengan persoalan kemiskinan. Saat tak punya makanan dan tak tahan dengan tekanan kemiskinan. Masyarakat Indonesia kreatif dalam mengekspresikan kemiskinannya, dalam banyak cara.

Memang, pengangguran dan kemiskinan telah menjadi banalitas di negara ini. Bagi pemerintah persoalan ini lebih sering ada dalam angka-angka sebagai argumentasi keberhasilan. Bagi lembaga-lembaga non pemerintah lebih banyak hadir dalam program untuk menarik founding. Oleh masyarakat, sikap pasrah adalah cara yang paling tepat agar berdamai dengan kenyataaan. Dalam tangan para intelektual, jadi kata dalam teori yang terlepas dari kenyataan. Sebab itu Rendra pernah menggugat lewat Sajak Sebatang Lisong:



Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

……………………………………….

Lemahnya semangat kewirausahaan masyarakat merupakan salah satu penyebab utama dari kekalnya persoalan pengangguran dan kemiskinan serta sekian akibat yang ditimbulkan. Sementara, kewirausahaan merupakan elemen penting bagi masyarakat yang sedang mengintegrasikan dirinya ke dalam pusaran perekonomian global. Apalagi dengan penerapan otonomi daerah yang mengharuskan kemandirian daerah, akan fatal akibatnya jika harus mempertarungkan rendahnya produktivitas daerah dalam kancah perekonomian global yang digerakan oleh rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, good governance dan persaingan bebas berdasarkan rasionalitas pasar. Tanpa spirit entrepreneurship yang kuat, selamanya Indonesia akan tetap tertinggal dalam keterpurukan.

Kewirausahaan sering dipergunakan sebagai penerjemahan dari kata entrepreneurship. Bisa diartikan sebagai upaya membangun usaha mandiri dan lebih jauh mensyaratkan kreativitas dan inovasi dalam proses penciptaan usaha tersebut. Wirausahawan merupakan orang yang berfikir kreatif dan bertindak inovatif dalam memanfaatkan serta menciptakan peluang untuk mencapai kesuksesan, seperti yang di defenisikan oleh Joseph Schumpeter, “an entrepreneur is a person who is willing and able to convert a new idea or invention into a successful innovation.”

Entrepreneurship merupakan karakter masyarakat kapitalis. Dalam kepustakaan Marxian merupakan akibat dari proggresnya hukum sejarah yang ditentukan oleh determinasi kerja. Menurut Weber merupakan dorongan dari etika Protestan, secara khusus sekte Calvin. Aliran yang muncul setelah reformasi gereja bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme di Eropa. Sementara oleh McCelland, keterbelakangan dunia ketiga merupakan akibat dari rendahnya Need for Achievement masyarakatnya(Fakih, 2002).

Di Indonesia secara konseptual kewirausahaan belum menjadi budaya masyarakat. Praktek kewirausahaan secara parsial hanya bisa ditemui secara di wilayah Jawa namun didominasi dengan usahan kuliner serta industri rumahan. Beberapa kota besar mulai muncul usaha kreatif oleh para pemuda namun belum merefleksikan karakter tersebut sebagai budaya masyarakat. Di Pulau Jawa terlihat bahwa masyarakat mulai memiliki inisiatif untuk berusaha sebagai sistem pertahanan hidup, tetapi belum sebagai ekspresi dari naluri kreatif dan inovatif .

Kondisi tersebutpun bukan merupakan proses yang given, tetapi berkaitan erat dengan konstruksi kebijakan pembangunan pada masa lalu. Sentralisasi pembangunan di Jawa mengakibatkan fenomena urbanisasi. Penumpukkan masyarakat di wilayah ini mendorong masyarakatnya untuk harus menemukan alternatif lain demi untuk hidup. Hasilnya adalah munculnya pedagang kaki lima, usaha-usaha kecil lainnya.

Bagi masyarakat wilayah pinggiran, kewirausahaan masih merupakan keyataan yang langka. Bukan saja prakteknya, bahkan di tataran konsepnya atau istilahnya. Sebagian besar masih hidup dengan cara tradisional, bertani dan nelayan sambil menghadapi kenyataan semakin sempitnya lahan. Kerja sekedar dilakukan dengan tujuan subsisten.

Sulit untuk dipungkiri, kolonialisme dan sentralisasi yang terjadi pada masa lalu menciptakan kesenjangan. Wilayah pusat dan wilayah pinggiran serta relasi yang tidak seimbang antara keduanya, Jawa dan luar Jawa. Pinggiran sebagai subordinasi dari pusat. Pinggiran menjadi realitas yang marginal, miskin dan tertinggal.

Kapital dan jaringan yang minim, sumber daya manusia yang belum terasah, terhambatnya akses informasi merupakan hal yang identik dengan pinggiran. Kebijakan pertumbuhan yang berdasarkan prinsip trickle down effect hanya meninggalkan monopoli, pemiskinan dan ketergantungan masyarakat.

Terlihat secara nyata, di wilayah pinggiran dunia usaha didominasi oleh Pedagang Cina, sementara usaha kecil lebih banyak di lakukan oleh perantauan dari pulau Jawa. NTT yang beberapa tahun terakhir mengisi peringkat termiskin di Indonesia,secara jelas menunjukkan hal ini. Beberapa Propinsi lain di kawasan Timur Indonesia seperti Maluku, Ternate sampai Papua tak jauh berbeda. Di NTT masyarakat setempat lebih memilih menjadi TKI dan merantau ke Malaysia, sementara sebagian besar sarjana menjadi pengangguran karena tidak lolos seleksi CPNS.



Kewirausahaan Untuk Masyarakat Pinggiran

Pengangguran dan kemiskinan memang menjadi fenomena yang menyeluruh di Indonesia. Sebagai negara paska kolonial yang berusaha membangun industrinya sebagai upaya mengejar ketertinggalan, kewirausahaan mutlak diperlukan.

Membangun kewirausahaan di wilayah pinggiran merupakan upaya yang perlu dilakukan agar mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat serta menghadang laju urbanisasi dan akumulasi Kapital terus menerus ke Pulau Jawa. Ketimpangan harus segera diminimalisir, sekaligus memberdayakan masyarakat pinggiran. Pikiran ini didasarkan pada kondisi masyarakat pinggiran yang haus akan alternatif usaha yang lain sementara pengetahuan dan akses sangat terbatas. Indonesia yang egaliter harus diperjuangkan, diberi bentuk.

Emansipasi masyarakat pinggiran harus dibangun agar penciptaan kesejahteraan tidak selalu merupakan monopoli negara. Mewujudkan kesejahteraan harus merupakan upaya dan cita-cita semesta rakyat Indonesia dan negara wajib memfasilitasi upaya tersebut.

Masyarakat pinggiran mesti didorong untuk paham bahwa dunia sudah berubah, untuk bertahan harus mampu bersaing. Sebagai negara yang mengintegrasikan diri dalam pusaran pasar bebas, bercocok-tanam tanpa lahan yang memadai merupakan tindakan bunuh diri. Kita harus berbenah untuk menjadi mandiri. Kewirausahaan adalah kunci Indonesia untuk bangkit dari ketertinggalan.

Membangun kewirausahaan bukan sekedar usaha mandiri, kreatif dan inovatif . Pengetahuan, penciptaan teknologi dan iklim yang kondusif merupakan unsur sentral lainnya. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dan negara. Secara bertahap upaya membangun kewirausahaan terhadap masyarakat pinggiran dapat dilakukan dengan cara:

1. Menginternalisasikan kewirausahaan dalam dunia pendidikan melalui kurikulum di sekolah semenjak dini yang sesuai dengan konteks lokalitas. Konteks lokalitas sangat menentukan bagi perkembangan kewirausahaan disuatu tempat. Sebab pengalaman di wilayah lain tidak bisa serta merta di terapkan di daerah lain. Salah satu contohnya adalah program Jagung-isasi yang berhasil di Propinsi Gorontalo, ternyata gagal ketika diterapkan di NTT, karena adanya perbedaan situasi.
2. Memperkenalkan kewirausahaan bagi mahasiswa baik di perguruan tinggi setempat maupun perantauan. Tidak saja sekedar teori tetapi juga menyediakan ruang eksperimentasi. Kewirausahaan harus menjadi mata kuliah wajib disetiap kampus sebagai bagian dari kurikulum nasional. Mahasiswa secara ideal merupakan tenaga terdidik yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung untuk menggerakkan proses perkembangan masyarakat. Tetapi seringkali yang terjadi malah sebaliknya, sarjana pengangguran dimana-mana karena menyandarkan hidup pada persaingan untuk menjadi PNS. Sementara yang merantau ke Pulau Jawa, sedikit sekali yang memilih pulang ke daerah ketika memiliki kemampuan lebih. Lebih banyak yang kembali adalah yang tidak memiliki kemampuan untuk survive di Jawa. Selain itu upaya perkenalan kewirausahaan bagi mahasiswa dari wilayah pinggiran dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen ikatan mahasiswa daerah.
3. Memberikan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat pinggiran serta mendorong penciptaan ruang usaha. Support atas program ini tidak sekedar modal - karena seringkali di salah gunakan – tetapi juga menyediakan akses baik itu pasar maupun jaringan yang terkait. Untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan kontrol dan pendampingan yang intens atau melalui pembangunan organisasi yang kuat sebagai wadah solidaritas.

Dengan sekian upaya ini, kewirausahaan yang sering di di-retorika-kan sebagai prasyarat untuk menuju masyarakat yang maju, menemukan konteks untuk berkembang dalam gerak sejarah masyarakat. Sebagai kenyataan yang di kerjakan. Perjuangan menuju kebangkitan Indonesia.

Kewirausahaan sebagai budaya yang hidup masyarakat dalam konteks Indonesia tidak bisa sekedar ditempatkan sebagai proses alamiah. Periode sejarah kita terdistorsi oleh kolonialisme. Keberhasilan untuk menginternalisasikan kewirausahaan yang merupakan pengalaman masyarakat Eropa semenjak revolusi industri, dalam situasi masyarakat Indonesia ditentukan oleh upaya dan dorongan yang terus menerus. Secara bertahap dari apa yang bisa kita kerjakan, kita punyai untuk Indonesia Jaya.



Penulis Adalah Peneliti pada Cakrawala Institute
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)


Rabu, 27 Oktober 2010

Ilusi Nasional(isme)

Oleh: Gafur Djali



Oktober adalah histeria, momentum mempertanyaakan ulang substansi eksistensi nation-state. Pengalaman historis delapan puluh dua tahun lalu kini mulai ditelisik ulang, sebagai konstruksi dialektis nation-state. Dan mungkin essay ini bisa jadi adalah bagian dari histeria tersebut.

Berangkat dari identitas budaya lokal. Identitas budaya lokal dalam pemahaman saya adalah modal dasar dalam menyusun fondasi kekuatan identitas nasional. Tanpa itu semua akan sangat sulit untuk membayangkan integrasi sosial yang utuh dalam kerangka nation-state bernama Indonesia. Saya memandang loyalitas atau cinta terhadap identitas budaya lokal, tidak dimaknai sebagai bentuk resistensi budaya satu atas yang lainnya. Namun, lebih befungsi sebagai media agar terjadi dialog antar budaya, lewat pengkajian, pengkayaan dan keterbukaan. Mungkin istilah populernya adalah transformasi sosial-budaya berdasarkan pada kearifan local (local wisdom).

Bayangkan, saat ini kita hidup dalam zaman yang anarki, tidak mengenal kompromo. Bertahan atau digilas zaman, mungkin sudah menjadi adagium umum yang berkembang di masyarakat. Derasnya arus modernisasi dan industrialisasi secara perlahan tapi pasti mulai mengerus tatanan masyarakat bahkan pada tatanan yang adhiluwung, atau filosofis sekalipun.

Kita mungkin dapat sedikit bernafas lega. Karena dalam simpang zaman ini, kita masih punya modal sosial yang dapat dikelola untuk membangun karakter bangsa. Saya tidak dapat membayangkan, ketika nilai-nilai kultur budaya lokal mulai tergerus zaman dan generasi berikutnya lebih mengenali budaya hasil (produksi) globalisasi dan industrialisasi. Suatu masa ketika kita sudah kebingungan menemukan tempat bertanya dan mulai kehilangan identitas sejati.

Lantas, kepada siapa kita akan bertanya tentang ke-khasan budaya lokal? Ketika masyarakat lokal (kita sendiri) mulai lupa atau tidak tahu sama sekali dengan budaya lokal kita masing-masing. Kepada siapa kita bertanya, bagaimana Kapal Pinisi Bugis dibuat sehingga kuat seperti karang mampu menjelajahi tiap tepian samudera? Kepada siapa kita akan bertanya tentang Adat Pela-Gandong di Maluku? Yang telah mampu membangun kerukunan dan keharmonisan umat beragama. Atau, kepada siapa kita bertanya bagaimana resep memasak Gudeg Jogja yang paling enak? Atau mungkin suatu saat nanti, kesemuanya hanya akan menjadi ritus sejarah yang hanya dapat ditemukan lewat arsip-arsip perpustakaan atau pada pigura-pigura foto yang terpampang di museum.

Saya sangat berharap, bahwa generasi saat ini (saya sendiri) mampu menjawab tantang tersebut. Setidaknya, pada titik paling pragmatis adalah kita mau belajar budaya lokal masing-masing. Meletakan sebagai falsafah hidup dan bukan sebagai pemahaman ilmu pengetahuan belaka. Sulit kirannya kita menunggu atau menuntut Negara (pemerintah) untuk peduli. Karena saya merasa, sampai saat ini pemerintah terkesan melepas tangan dan kurang peduli pada permasalahan di atas. Kalaupuan ada, kepedulian tersebut didorong oleh semangat industri budaya yang dikemas dalam paket-paket wisata. Wal hasil, untung rugi ekonomilah yang kemudian menjadi patokan. Saat ini, saya lebih percaya bahwa suatu proses mengubah (perubahan) adalah kekuatan kita merangkul dan bersama-sama membangun dari bawah, memulai dengan apa yang kita miliki dan sesuatu yang kita bisa kerjakan.

Refleksi mendasar tentang jatidiri kita sebagai bangsa sampai pada pemahaman asalmula alasan Indonesia terintegrasi menjadi nation-state dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia sebelumnya bukan hanya dipandang sebagai komunitas terbayang belaka. Namun, lebih dari itu. Indonesia belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sedari pemunculan ide Indonesia, proklamasi, bahkan sampai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu pencapaian monumental yang saya yakini belum pernah dicapai dalam sejarah modern umat manusia.

Mungkin pandangan saya hanyalah ilusi belaka. Tapi izinkan saya untuk sampaikan bahwa sampai detik ini saya masih belum dapat membayangkan bagaimana mungkin suatu gugusan kepulauan dengan latar belakan etnis, bahasa, budaya dan sejarah berbeda memilih untuk menjadi Indonesia? Bila jawabannya adalah integrasi kita dalam Negara Indonesia dilandaskan atas samarasa akibat keterpurukan kolonialisme. Saya pikir jawaban itu sama artinya mengiyakan praktek kolonialisme. Karena tanpa kolonialisme Indonesia tidak ada, maka berterimakasilah pada kolonialisme, karena berkat merekalah Indonesia di proklamirkan. Atau, ada jawaban lain. Karena kita dulunya pernah ada dalam satu wilayah Dipantara ketika kejayaan Sriwijaya dan Nusantra ketika kejayaan Majapahit. Saya juga masih sangsih dengan klaim historis tersebut. bagaimana tidak, integrasi wilayah ketika masa Sriwijaya dan Majapahit berlangsung dalam skema penjajahan Sriwijaya atau Majapahit untuk perluasan teritorinya. Proses intergrasi tersebut menyimpan banyak luka sejarah karena berlangsung di bawah tekanan. Bila anda tidak mengakui Sriwijaya atau Majapahit itu sama artinya anda menyatakan perang, dan bersiaplah untuk apa yang anda bangun hannya tinggal cerita. Mungkin begitulah kira-kira ilustrasi sederhananya.

Berawal dari suatu konsensus bersama (good will) untuk membentuk suatu tata kehidupan yang lebih baik dan pelimpahan kekuasaan (pengakuan kedaulatan) oleh kekuasaan lokal untuk menyatakan diri menjadi bagian dalam nation-state. Dua hal inilah yang dipandang sebagai dasar terbentuknya Indonesia. Maka, Integrasi sosial-politik dalam kerangka nation-state kemudian diletakan sebagai suatu proses. Proses menjadi Indonesia. Suatu proses untuk berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya, setidaknya itulah tiga butir pokok cita-cita nasional (national building).

Sulit membayangkan suatu bangsa yang besar baik secara teritorial maupun cita-cita bangsa tersebut, tanpa kita menyentuh pada sisi yang paling asali, yaitu nasional(isme). Saya tidak mau terjebak pada kritik kita atas nasional(isme) simbolik yang berkembang belakangan ini. Saya percaya sepenuhnya bahwa nasional(isme) itu perlu sebagai pengikat yang bersifat imatrial (filosofis). Nasional(isme) tersebut bukan semata bicara soal rasa, loyalitas atau simbol. Tetapi, nasional(isme) dalam pemahaman saya adalah kepedulian dan kemampuan untuk membangun. Berawal dari membangun diri dan mengelola lokalitas atau komunitas yang paling terkecil sekalipun di daerah lingkungan kita masing-masing, terutama masyarakat lokal dengan kearifan budayanya.

Perkembangan situasi belakangan cukup menyudutkan masyarakat lokal terutama kearifan budaya-nya. Pranata atau norma-norma yang berkembang di masyarakat, yang kemudian kita kenal sebagai hukum adat terkadang mulai diabaikan. Dalam kacamata hukum positif, posisi hukum adat sangatlah lemah. Atau, saya lebih sepakat posisi hukum adat dilemahkan. Alasannya karena dalam hukum adat tidak terdapat ukuran-ukuran normatif yang mampu dijadikan patokan dalam penegakan hukum. Sungguh suatu pengebirian yang mematikan karakter masyarakat lokal. Hukum adat adalah pranata sosial yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh-roh leluhur dan manusia dengan Tuhan. Kekayaan hukum adat inilah yang belum mampu dimaknai atau diterjemahkan oleh hukum positif yang kita adopsi dari hukum Eropa kontinental atau lebih tepatnya Belanda.

Pada satu sisi, perkembangan globalisasi yang melahirkan industrialisasi telah sedikit banyak mengerus nilai-nilai lokal. Sedangkan pada sisi lain, negara yang dibangun atas daulat rakyat dan sebagai pelindung rakyat juga tidak mampu berbuat banyak. Negara terkadang lebih memihak pada pakem-pakem globalisasi dan industrialisasi. Sebagai dalih untuk pembangunan dan kesejateraan rakyat. Namun, mengerus nilai-nilai lokal masyarakat itu sendiri.

Pada titk inilah. Menjadi suatu keniscayaan ketika kita menuntut kepada Negara untuk adil. Adil dalam hal melindungi pranata sosial masyarakat lokal dan mensejaterakan rakyat lewat pembangunan yang berkeadilan. Pembangunan yang melibatkan peran aktif masyarakat secara keseluruhan. Bukan sakadar menuntut warga negara untuk memiliki rasa nasional(isme) sedangkan Negara dalam kebijakan-kebijakannya justru menghilangkan nilai nasional(isme) yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ataukah, nasional(isme) hanya ilusi belaka?



Jogjakarta. Senin,18 Oktober 2010



Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)


Jumat, 22 Oktober 2010

Masa Depan Politik Indonesia: Oligarki Tanpa Batas

Oleh: John Petrus Talan


Beberapa tahun terakhir media massa senantiasa menghadirkan oligarki politik sebagai banalitas dalam realita politik kontemporer Indonesia. rentetan kasus yang dipulikasikan, seringkali berakir dalam kamar negosiasi tanpa masuk ke ranah hukum. Elit politik di Indonesia seakan menjadi superhuman yang tak tersentuh oleh supremasi hukum.

Penegakan hukum menjadi sekedar sebuah pentas sandiwara, semua actor dapat mejadi sutradara yang mampu mengobrak-abrik pentas tersebut. Terlampau sering para elit politik mempersalahkan undang-undang dan lembaga hukum untuk mencari celah pembenaran. Partai politik menjadi institusi hirarkis oligarki, dengan tujuan mengamankan kepentingan usaha sang pemimpin. Semakin kecil kedudukan, semakin kecil peran dan semakin menghamba pada otoritas pimpinan pusat.

Masyarakat sekedar menjadi penonton sembari sesekali berguman itulah politik. Pada saatnya menjadi alat mobilisasi atas nama demokrasi demi kekuasaan.

Disorientasi politik kekuasaan

Politik dan kekuasaan merupakan konsep yang secara intuitif dapat dipahami, namun sulit untuk didefenisikan tanpa kehilangan sebagian makna. Secara de facto politik ada seiring dengan lahirnya kebutuhan atas pengaturan. Kekuasaan muncul sebagai intrumen otoritatif yang memiliki legitimasi untuk membentuk keteraturan. Pada masa primitif, pemimpin lahir secara alamiah sebagai sosok yang memiliki kemampuan lebih dalam aktifitas menyiasati alam sebagai upaya subsisten. Sementara Era feodal, kekuasaan memiliki keterkaitan dengan kosmologi, pemimpin merupakan representasi dari wujud tertinggi yang mengatur semesta dalam sistem kepercayaan masyarakat. Kekuasaan diwariskan secara geneologis dan bersifat mutlak.

Dalam historiografi teori, atas dasar ide Plato memetakan kekuasaan sebagai “Pathein” atau persuasi untuk urusan dalam negeri dan ‘Bia” atau paksaan untuk urusan keluar. Ketika itu citra baik melekat pada kekuasaan. Kekuasaan senantiasa demi kebajikan, kebaikan, keadilan dan kekebasan. Saat Sokrates gurunya dihukum mati, Plato terlempar dari dunia idenya sendiri. Ia terpaksa menerima bahwa kekuasaan berwajah ganda.

Belasan abad setelah Plato, pemikir realis klasik Marciavelli menunjukkan wajah ganda kekuasaan tersebut. Dalam il principle ia menuliskan bahwa kekuasaan bukanlah alat yang mengabdi pada kebaikan, kebajikan maupun keadilan dan kebebasan. Kekuasaan adalah alat yang mengabdi pada kepentingan negara itu sendiri. Sejak itulah “yang abadi dalam politik adalah kepentingan” menjadi dalil utama dalam politik. Oleh kaum realis prinsip etis dalam kekuasaan ditunjukkan sebagai sekedar subordinasi dari term kepentingan.

Kontrak sosial mewarnai jagad filsafat politik modern fase awal, dengan negara sebagai instrument politik baru menggantikan tatanan monarki absolut. Demokrasi menjadi mekanisme politik dimana Manusia menjadi subyek yang mengatur dirinya sendiri dan setara satu dengan lainnya. Kekuasaan dikonsepsikan sebagai wadah artikulasi kepentingan rakyat, yang memberikan legitimasi pemimpin yang dipilihnya.

Kekuasaan hadir dengan wajah manusiawi. Proses politik merupakan gerak sadar manusia dalam memberi sikap. Ini gegap-gempita Eropa yang merayakan kebebasannya, untuk negara dunia ketiga seperti Indonesia hanya ada didalam kamar ide yang sesekali muncul sebagai politik verbal.

Kepentingan dalam analisis politik berkembang menjadi laba, ketika kekuasaan oleh rezim pasar di-komodifikasi-kan. Karl Marx menjadi penanda atas era ekonomi politik dalam kritik terhadap kapitalisme. Negara ditampilkan sebagai representasi dari kelompok dominan yang memiliki Kapital.

Modal sebagai sistem akumulatif menggorganisir keinginan manusia menjadi kepentingan. Kekuasaan menghamba pada upaya akumulasi, selanjutnya menjadi kamar-kamar bergeraknya kepentingan, dalam dunia kapitalisme. Seperti itulah Indonesia. Sebagai kebenaran atas apa yang terjadi di Indonesia, tentunya analisis yang monolitik. Namun itulah sebagian besar kenyataan politik Indonesia.

Di Indonesia, negara sebagai manifestasi kedulatan rakyat hanya hadir sebagai euforia sesaat setiap peristiwa perubahan. Ilusi kesadaran rakyat, bahwa mereka telah menang. Tetapi politik dan kekuasaan adalah milik yang mampu membayar. Kekuasaan memperkaya oligarkh, borjuasi oligarkh membiayai kekuasaan untuk mengamankan kepentingan dan akses. Lahirlah disorientasi kekuasaan.

Disorientasi kekuasaan merupakan sejarah politik Indonesia. Nalar politik Indonesia semenjak orde baru yakni terbentuknya oligarkhi seputar lingkaran kekuasaan kekuasaan. Lingkaran ini terbentuk sebagai upaya memperkokoh kekuasaan dan distribusi akses ekonomi politik yang menguntungkan dalam bentuk patron-klien. Lingkaran oligarki membentuk pusat dan pinggiran sebagai mikro politik. Ketergantungan adalah realitas makro politik untuk menggambarkan relasi antara negara dan kapital sebagai pusat dan pinggiran. Politik domestik Indonesia membentuk hubungan pusat dan daerah. Pinggiran dan daerah membudak terhadap pusat.

Politik menampakan wajah sebagai upaya mengejar kekuasaan apapun caranya. Upaya Mempertahankan kekuasaan kerap berakhir dalam kamar-kamar negosiasi, dengan solusi yang mendamaikan konflik kepentingan antara modal dan kekuasaan.

Pada era orde baru penopangnya adalah sentralisme birokratik, instrumen stabilitasnya adalah militer. Pada era reformasi partai politik memainkan peranan penting dalam mempertahankan struktur ketergantungan pusat dan daerah. Relasinya eksploitatif, daerah senantiasa menghamba pada pusat. Demokrasi proseduratif sebagai bingkai, hukum dan lembaga turunannya menjadi instrument legitimasi. Kekuasaan tampil sebagai alat kepentingan ekonomi atas nama keuntungan, oligarkhi terbentuk atas dasar tendensi tersebut.

Desentralisasi Politik; Dalam bayang-bayang Oligarkhi

Indonesia juga melahirkan kritik, lahirlah reformasi sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat atas tatanan politik yang lama. Hasilnya, desentralisasi kekuasaan yang merupakan praktek kebijakan politik kontemporer Indonesia. cita-citanya adalah kesetaraan politik pusat dan daerah serta meluasnya emansipasi rakyat.

Talcott Parson mendefenisikan desentralisasi sebagai pembagian kekuasaan pemerintah oleh sekelompok penguasa pusat dengan kelompok lainnya, masing-masing memiliki otoritas dalam wilayah tertentu dari suatu negara. Selain pembagian kekuasaan sebagai fokus, ada Pengertian lain yang merujuk pada pengelolaan administrasi yang dirumuskan oleh Dennis A Rondinelli dan Cheema G Shabbir, bahwasanya desentralisasi merupakan pengalihan perencanaan pengambilan keputusan, atau wewenang administratif dari pemerintah pusat ke organisasi-organisasi lokal, organisasi semi otonom dan organisasi bentukan negara, pemerintah lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (Syarif Hidayat, 2010). Perspektif politik dan administrasi merupakan dikotomi varian defenisi desentralisasi yang dapat dipergunakan untuk menganalisis praktek desentralisasi di Indonesia semenjak reformasi.

Untuk mencapai kesetaraan politik pusat-daerah dan tumbuhnya emansipasi masyarakat lebih luas, prasyaratnya adalah demokrasi ditingkatan daerah. Sebab, otoritas politik dan administrasi di daerah membutuhkan kontrol masyarakat sehingga desentralisasi tidak melanggengkan struktur ketergantungan. Keberhasilan desentralisasi tidak sekedar terjadi pada pembentukan lembaga atau instrumen pelaksana semata, tetapi terbentuknya kesadaran kritis masyarakat sebagai faktor determinan.

Tanpa kesadaran kritis masyarakat, desentralisasi hanya akan melahirkan oligarkhi baru ditingkat pemerintahan daerah. Dalam sistem demokrasi kesadaran kritis masyarakat bersifat esensial, sehingga kekuasaan merupakan representasi kepentingan masyarakat yang mereka pilih sebagai intrumen artikulatif dan regulator kepentingan tersebut. Inilah yang tidak terjadi satu dasawarsa implementasi otonomi daerah dan desentralisasi.

Otonomi daerah yang dijalankan tidak menjadikan daerah sebagai entitas otonom yang menciptakan regulasi dan menjalankan pemerintahan sebagai manifestasi kebutuhan masyarakat daerah tersebut. Yang terjadi sekedar otonomi administratif, misalkan untuk mengurus perijinan terkait ekploitasi SDA cukup didaerah tidak harus ke pusat sebagaimana pada era orde baru. Secara politik tetap sentralistik. kontrol pemeritah pusat tetap kuat dalam penetuan kebijakan daerah. contohnya bisa dilihat dari implementasi otonomi khusus di Papua dimana kebijakan politik ditentukan oleh pemerintah pusat, yang dibahasakan sebagai otonomi khusus hanya sekedar alokasi dana besar-besaran.

Pemerintah daerah lebih sering menjadi pelaksana teknis dari kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Keberadaan partai politik yang diharapkan sebagai pengontrol, ternyata juga terjebak dalam relasi ketergantungan terhadap pimpinan pusat. Hasilnya, apa yang menjadi realitas politik nasional, juga merupakan kenyataan di daerah dengan skala lebih kecil. Elit politik daerah hanya sekedar menjadi bagian dari sistem untuk mobilisasi suara untuk kekuasaan dan kepentingan pemimpin partai. Lebih miris lagi, partai politik malah menjadi embrio terbentuknya oligarkhi. Dari hulu ke hilir yang ditemukan dalam kekuasaan adalah kelompok-kelompok kecil elit yang senantiasa melakukan shering kepentingan melalui negosiasi.

Selain persoalan administrasi dan perbaikan institusi negara, perubahan tatanan politik secara substantif antara era Orde baru dan reformasi tidak terjadi. Bangunan politik Indonesia semakin sarat dengan pembentukan oligarkhi, bahkan kian meluas. Yang berbeda, oligarhi politik orde baru memusat pada figur sentral yakni The smilling general soeharto. Sementara, pada reformasi oligarkhi di pusat sifatnya lebih cair yang terbentuk atas dasar kepentingan dan negosiasi. Untuk membuktikannya, kita cuma mesti mengumpulkan data tentang kekuasaan daerah dalam tangan segelintir orang dari latar belakang yang sama. Banten bisa menjadi pijakan pertama kita untuk mulai berhitung.

Membangun dari Daerah

Secara logis, otonomi daerah mengimajinasikan otoritas daerah yang kuat sebagai masa depan politik Indonesia. al hasil, beberapa waktu terakhir selalu ada wacana untuk selalu pulang dan membangun daerah, sebagai isu pinggiran dari otonomi daerah. Membangun dari daerah tidak sekedar diletakan pada niat baik. Persoalannya adalah akses atas alokasi kekuasaan. Membangun daerah harus merupakan upaya menciptakan kesetaraan posisi dengan cara memutus matarantai penindasan dalam bentuk relasi pusat dan daerah yang menghisap dan dihisap. Pusat-daerah Indonesia adalah mikro-politik dari tatanan semikolonial (baca:ketergantungan) pusat-satelit sebagai relasi negara dan Kapital internasional. Indonesia, satelit yang terpasung. Jika pembebasan tidak dilakukan maka yang menanti adalah kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang. Oligarkhi tanpa batas (JPT).


Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)


Rabu, 13 Oktober 2010

Kebijakan Agraria dan Koorporatisasi Pertanian (Food Estate)

Gafur Djali

"Control oil and you control the nations,

Control food and you control the people"(Henry Kissinger)

Industri pertanian sudah menjadi bisnis dengan prospek paling menjanjikan dewasa ini. Sebelumnya, mungkin industri pangan hanya selalu dipandang sebelah mata. Kita cenderung mengamini, bahwa investasi di pasar finansial, telekomunikasi-informasi, farmasi, industri pertambangan dan perminyakan adalah cabang-cabang produksi yang akan mendatangkan keuntungan berlipat. Sekarang anasir-anasir tersebut mulai runtuh dan industri pertanian menjadi salah satu kekuatan industri dunia.


Hukum ekonomi “permintaan-penawaran” jadi pakem dasar. Kebutuhan pangan dunia terus meningkat dari tahun ketahun, peningkatan tersebut ternyata belum dibarengi dengan kapasitas produksi memadai. Pertumbuhan manusia dan mulai menyempitnya lahan-lahan pertanian, baik akibat alih fungsi lahan atau akibat global warming, merupakan faktor pendorong sehingga industri pertanian menjadi primadona. Pesatnya perkembangan industri pertanian dipicu oleh dua faktor utama yaitu meningkatnya permintaan pangan dunia dan pengadaan energi alternatif (biofeul).

Dalam peta industri pertanian global, Indonesia merupakan salah satu primadona untuk investasi pertanian tersebut. Pada satu sisi, lahan pertanian Indonesia terkenal subur dan masih cukup luas untuk membangun industri pertanian raksasa. Selain itu, dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar potensial di Asia Tenggara. Posisi strategis Indonesia inilah yang membuat perusahan-perusahan multinasional (MNC), perusahan transnasional (TNC) maupun afiliasi perusahaan nasional dan perusahaan asing, memberanikan diri untuk mendirikan mega proyek industri pertanian.

Dayung bersambut, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengakomodir kepentingan pengusaha tersebut dengan meluncurkan program koorporatisasi pertanian (food estate). Payung hukumnya adalah UU Penanaman Modal No.25/2007 dan dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No.18/2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman skala luas. Food Estate adalah konsep pengembangan produksi pangan yang terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang terintegrasi dalam satu wilayah yang sangat luas.

Pada PP No.18/2010 mengatur beberapa hal, di antaranya tentang batasan kepemilikan saham asing yaitu maksimal 49% dan perusahaan dalam negeri sebesar 51%. Selain itu, juga mengatur tentang HGU (hak guna usaha), selama 35 tahun. Namun, investor dapat memperpanjang HGU-nya dua kali yaitu selama 35 tahun dan perpanjangan selanjutnya selama 20 tahun. Jadi, total HGU yang dapat dimaksimalkan oleh investor adalah selama 90 tahun. Suatu rentan waktu yang sangat lama mendekati satu abad. Sedangkan, ketentuan HGU tersebut tidak berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah hanya berlaku untuk swasta asing maupun swasta nasional.

Program food estate mengkonsentrasikan pada pengembangan wilayah Indonesia timur. Contoh riil dari program food estate yang sedang dikembangkan adalah di kabupaten Merauke, Papua, lewat program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Apa alasan pemerintah memilih Merauke? Dengan luas kawasan sekitar 45.071 km2, lahan potensial seluas 2,5 juta ha, terdiri dari lahan basah 1,93 juta ha dan lahan kering 0,55 juta ha serta didukung dengan jumlah penduduk sekitar 183.945 jiwa, maka dari aspek geoekonomi maupun geostrategi mempunyai nilai ekonomi dan daya saing internasional cukup tinggi. Merauke kemudian oleh pemerintah dijadikan sebagai pionir Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di bidang pangan dan energi alternatif. Mirip dengan yang pernah dilakukan oleh Belanda dengan proyek Padi Kumbe-Kurik sejak tahun 1939 sampai tahun 1958.

Pemerintah memprediksi membutuhkan dana investasi sebesar Rp.50-60 triliun untuk program food estate di Papua. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahwa industri pertanian adalah primadona investasi. Program MIFE Menjadi rebutan, layaknya para jejaka berebut mempersunting bunga desa. Tidak tangung-tanggung, ada sekitar 36 investor yang siap masuk, 28 investor dari dalam negeri dan sisanya investor asing. Beberapa investor asing yang siap masuk antara lain adalah dari Timur Tengah, Jepang, Brazil, AS, dan Eropa untuk pengembangan lahan padi, tebu, kedelai, dan lain-lain. Nama-nama beken seperti Bin Laden Group, PT Medco Papua Industri Lestari Medco Group, perusahaan milik Arifin Panigoro. Artha Graha Network melalui anak usaha PT Sumber Alam Sutera (SAS) milik Tommy Winata dan kelompok Bakrie Group milik Aburizal Bakrie adalah perusahaan yang telah siap berinvestasi di Merauke, Papua.

Food estate dalam kacamata pemerintah adalah upaya untuk menciptakan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional akan tercipta bila pembukaan lahan baru dengan model pertanian skala besar yang bertumpu pada industri pertanian. Langkah tersebut adalah skema pemerintah untuk produksi pertanian yang berkesinambungan dalam skala besar. Harapannya akan mampu memenuhi stok nasional maupun kebutuhan pangan dunia. Selain untuk kebutuhan pangan, food estate juga diperuntukkan untuk menjawab permintaan dunia atas kebutuhan energi nabati di tengah makin mahal dan berkurangnya energi fosil. Sumber energi alternatif yang terbaharukan untuk kebutuhan ekspor yang semakin meningkat tiap tahunnya.

Ketahanan pangan dalam pandangan pemerintah adalah kemampuan pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan dan kemampuan masyarakat untuk mengakses kebutuhan pangan tersebut. Tolak ukurnya adalah kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan pangan. Jadi, bertumpu pada kekuatan konsumsi masyarakat. Sederhananya, bila pemerintah mampu menjamin ketersediaan pangan untuk konsumsi masyarakat dan masyarakat mampu membelinya (harganya terjangkau) maka dapat dikatakan ketahan pangan nasional dalam posisi aman. Agar supaya harga pangan dapat terjangkau, dan pemerintah mampu menjamin ketersedian stok, maka dibutuhkan produksi massal skala luas. Semakin banyak barang yang diproduksi secara masal dalam waktu bersamaan, maka akan semakin murah harga barang tersebut. Dan, skema tersebut adalah Food estate dengan MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sebagai eksperimentasi awal. Harapan pemerintah, Food estate akan menciptakan kemakmuran dan kesejateraan karena kebutuhan pangan semakin terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Perdebatan dan Kontroversi

Dalam hemat saya, pandangan pemerintah tersebut cukup ambigu. Pertanyaan saya sederhana. Bagaimana mungkin tercipta kesejateraan tanpa diimbangi dengan kempuan masyarakat untuk berproduksi? Karena dengan produksi dapat memompa pendapatan masyarakat, sehingga tingkat kesejateraan meningkat seiring dengan produktifitas produksi masyarakat yang meningkat pula. Peningkatan pendapatan secara perlahan akan meningkatkan daya beli. Apa sebenarnya yang menjadi tolak ukur kesejateraan? Kesejateraan mengandung makna yang cukup bias. Saya akan melihatnya dari kacamata normatif. Apakah kesejateraan diukur dari tingkat konsumsi (daya beli) atau tingkat produksi (pendapatan)? Contohnya begini, bila anda tidak punya pekerjaan, maka anda tidak punya pemasukan. Seratnya pemasukan membuat barang semurah apapun tidak terbeli, karena anda tidak punya uang. Taraf hidup anda kemudian menjadi dibawah standart kelayakan. Jadi, anda tidak punya pilihan lain selain bekerja agar anda dapat mengontrol pemasukan. Dengan bekerja maka anda dapat menghasilkan sesuatu. Semakin tinggi tingkat produktifitas kerja, maka semakin tinggi pendapatan yang anda peroleh. Walhasil, dengan pendapatan tinggi maka dapat merangsang daya beli, termasuk pangan.

Itu tadi pandangan subjektif saya, yang lebih menitikberatkan tingkat kesejateraan pada tataran produktifitas (pendapatan) masyarakat. Ternyata, pemerintah justru berasumsi sebaliknya, mengukur tingkat kesejateraan pada tataran konsumsi. Dalam hukum ekonomi dari klasik sampai kontemporer semuanya mengamini bahwa hal utama dalam menciptakan kesejateraan adalah tinggi-rendahnya produktifitas atau tinggi-rendahnya pendapatan masyarakat. Kita mungkin dapat belajar dari pengalaman negara lain yang pengembangan agraria atau pertaniannya dapat di nilai sukses. Negara-negara seperti Vietnam, Thailand bahkan Amerika yang katanya dedengkot liberalisme, ternyata mereka semua adalah pembela petani sejati. Petani diberikan akses pasar dan bantuan modal, segala hambatan untuk bertani diselesaikan lewat kebijakan pemerintah. Selain itu mereka juga membatasi impor pangan agar harga pangan hasil petani dalam negeri dapat di jual dengan harga yang layak. Akhirnya, negara-negara tersebut mampu menciptakan kesejateraan untuk pada petaninya.

Pergeseran Nilai

Keadaan di Indonesia tak semesra itu. Dengan adanya Pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis-desa) dan family-based agriculture (pertanian berbasis-keluarga) menjadi corporate-based food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture productio (produksi pertanian). Saya menyadari sepenuhnya bahwa ada beberapa terobosan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Tetapi sangat disayangkan pemerintah justru mendorong program food estate. Padahal, dalam hemat saya permasalahan utama dunia pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Akses masyarakat atas tanah semakin sulit sehingga masyarakat tidak mempunyai kesempatan melakukan produksi. Selain itu, banyak persoalan agraria yang belum terselesaikan seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan, perumahan, jalan atau industri.

Pergeseran tersebut, menurut saya dapat semakin menyudutkan petani. Petani kemudian dihadapkan langsung dengan perusahan-perusahan raksasa yang dengan kekutan modal besar dan dukungan penuh pemerintah dapat memproduksi dalam skala besar. Sedangkan petani seakan masuk dalam labirin kehidupan (produksi) yang rumit. Petani kita selalu dihadapkan dengan persoalan klasik seperti semakin menyempitnya lahan pertanian, bibit mahal, pupuk langka, produksi menurun, dan bila panen tak jarang harga pangan justru turun terjun bebas karena banjir impor. Sehingga petani seperti Pak Marhein ketika Soekarno masih muda sampai petani detik ini, masih saja terbelit dengan persoalan-persoalan yang saya kira masih serupa. Seakan tidak ada jalan keluar untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan harkat hidup masyarakat tani.

Ijinkan saya mengutip pandangan alternatif organisasi buruh tani dan petani internasional La Via Campesina di mana SPI (serikat petani Indonesia) juga tergabung di dalamnya: Esensi dari kedaulatan pangan (food sovereignty) didefinisikan sebagai hak sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya. Meletakan prioritas pada produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping. Kedaulatan pangan adalah bahwasanya para buruh tani dan petani berdaulat dalam menentukan pemilihan cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi hingga menyangkut masalah keamanan pangan. Karena itu, kedaulatan pangan mendorong semua jenis aktivitas produksi pangan harus dikerjakan oleh para petani itu sendiri, sehingga yang dinamakan kedaulatan pangan dimiliki oleh petani bukan oleh pengusaha.

Ketahan pangan saja tidak cukup untuk menjawab persoalan kesejateraan kaum tani dan manusia Indonesia secara keseluruhan. Karena konsep ketahanan pangan yang kita adopsi sekarang sangat menguntungkan pengusaha (investor) dan menyudutkan petani kecil. Bila kita coba sempitkan pada persoalan pangan dan agraria, maka tidak ada ketahanan pangan nasional sejati bila tidak dibarengi dengan kedaulatan pangan (food sovereignty) dan kedaulatan pangan akan terwujud bila ada kedaulatan agraria.

Kedaulatan Agraria

Sekilas, kebijakan food estate mengingatkan saya pada kebijakan masa kolonial Belanda lewal Agrarische Wet No.55 dan Agrarisch Besluit No.118 tahun 1870 atau undang-undang agrarian. Salah satu aturan pokoknya adalah pengaturan hal milik tanah yang di dominasi oleh colonial. Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit kemudian menjadi legitimasi liberalisasi pertanian dengan masuknya perusahaan-perusahaan internasional. Ketika itu, banyak berkembang perkebunan seperti teh di Jawa Barat, gula di Jawa Tengah, karet dan tembakau di Sumatra, kopi Sulawesi dll. Selain itu, terjadi penyempitan lahan (tanah) karena tanah-tanah warga atau tanah adat atas desakan pemerintah Kolonial dialih fungsikan sebagai perkebunan atau pabrik yang kesemuanya di kontrol oleh pemilik modal (investor). Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit bukan saja menjadi mimpi buruk bagi petani ketika itu, tetapi merupakan salah satu bentuk eksploitasi sistematis atas sumberdaya alam dan manusia.

Dampak yang ditimbulkan tidak kalah hebatnya. Secara historis, kemunculan Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit menciptakan pergeseran pola produksi pertanian yang awalnya berbasis pada pengelolaan tanah secara bersama untuk kebutuhan hidup keluarga, desa atau petani. Berubah menjadi model produksi pertanian berbasis industri yang di kontrol oleh investor dan posisi petani bergeser menjadi buruh tani karena tanah garapannya telah hilang. Secara politik, ekonomi, sosial-budaya, kehadiran Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit adalah kutukan yang sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, sadar atau tidak, masih kita rasakan mewarnai dunia agraria Indonesia.

Menurut ekonomi senior Sritua Arif, dikutip dari Bonnei Setiawan dalam bukunya Globalisasi Pertanian. Sritua Arif menyatakan bahwa, Kebijakan ekonomi Indonesia dan proses ekonomi yang mengikutinya telah berjalan di atas suatu struktur ekonomi warisan kolonial...dulu dikembangkan dan diperkuat untuk melayani negara-negara asal pihak penjajah dan sektor massa agraris merupakan neglect area (area terabaikan) dan sumber kuli murahan... diatas struktur dan situasi inilah kebijaksanaan ekonomi Indonesia selama ini telah dijalankan sehingga pada hakekatnya sadar atau tidak sadar sebetulnya kita telah memperkuat dan mengembangkan struktur ekonomi warisan kolonial.

Saya pikir, pendapat tersebut masih cukup beralasan bila kita membandingkannya dengan seksama kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang yang cenderung menguntungkan investor atau pengusaha ketimbang nasib petani. Food estate adalah salah satunya. Persoalan mulai muncul ketika alih fungsi lahan terjadi. Dampak sosiolagis dan ekologis akan menjadi ancaman serius. Pembukaan lahan dengan penebangan hutan tentunya akan menghadirkan ketidak seimbangan ekologi dan ujung-ujungnya akan berdampak pada bencana ekologis, seperti banjir, erosi, atau kekurangan air bersih. Selain, itu kita juga harus mengukur dampak sosiologis, terutama untuk masyarakat adat yang ternyata merasa terusik dengan program tersebut. Karena lahan untuk food estate merupakan tanah adat yang disakralkan dan dilindungi oleh masyarakat. Belum lagi kita mengukur dampak struktural yang ditimbulkan. Khusunya tentang pergeseran pola pertanian nasional dan peta persaingan antara petani tradisional dengan industri skala raksasa.

Kembali pada UU Pokok Agraria 1960

Saya sedikit menyinggung tentang pengalaman historis kita sebagai suatu nation-state. Pasca kemerdekaan, para founding father menyadari struktur warisan kolonial yang sedang diwarisi oleh negara pasca kolonial. Khususnya pada bidang ekonomi-politik terkait persoalan agraria di Indonesia pasca diterbitkanya Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit. Wal hasil, Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Adalah payung hukum agraria dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial. Perombakan tersebut untuk menghilangkan unsur-unsur diskriminasi masal yang secara struktural telah diidap selama ratusan tahun.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemaknaan “dikuasai oleh Negara” bukan dalam pengertian bahwa warga Negara menyerahkan tanahnya kepada Negara, namun pada tatacara pengelolaan wilayah sebagai suatu tertib administrasi. Negara sepenuhnya menghormati kepemilikan individu atas tanah atau kepemilikin tanah skala luas lewat tanah ulayat (tanah adat). Negara kemudian memposisikan diri sebagai pelindung atas sumberdaya produktif agar tidak jatuh ketangan asing atau individu yang berpotensi akan menyempitkan ruang gerak dan pendapatan masyarakat.

UUPA 1960 menyatakan bahwa, Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Artinya Negara secara tegas melindungi kepentingan dan kedaulatan kepemilikan dan pengelolaan tanah. Anda bisa bayangkan, bila tidak ada mekanisme pengontrolan atas tanah maka sudah dapat dipastikan akan muncul persoalan tata rung yang serius. Hutan sebagai sumber mata air bisa berubah menjadi industry kayu sehingga terjadi krisis air, banjir atau tanah longsor karena terjadi pengundulan hutan. Atau, lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, sehingga produksi pangan akan menurun dan berdampak pada tingginya harga pangan sehingga sukar di jangkau oleh masyarakat. Mungkin itu sekelumit persoalan, bila tata ruang tidak dapat dikelola dengan bijaksana.

UUPA 1960 hadir untuk memberi jalan dalam pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa secara bijaksana. Agar kedaulatan dan kemakmuran rakyat bisa ditentukan oleh rakyat itu sendiri dengan bantuan atau difasilitasi oleh pemerintah sesuai amanat konstitusi. Amanat Konstitusi Negara (UUD) menyatakan bahwa, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang disusun dalam satu skema besar atau nasional. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip demokrasi ekonomi sebagai jawaban yaitu keadilan masyarakat dalam berproduksi.

Masyarakat memiliki hak untuk mengelola sekian sumberdaya alam, tentunya harus didukung oleh Negara sebagai pelaksana daulat rakyat. Sayangnya UUPA 1960 secara dejure masih ada, namun secara vacto tidak pernah dilaksanakan. Pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto berdampak pada terabaikannya UUPA 1960. Proses de-Soekarno-isasi dan derasnya arus liberalisasi ekonomi dengan jargon developmentalism (pembangunan) membuat segala sesuatu termasuk undang-undang yang dikeluarkan semasa Soekarno dan menutup keran liberalisasi ekonomi (masuknya modal asing) diacuhkan atau bahkan dihilangkan secara dejure maupun secara vacto oleh rezim Soeharto.

Bila memperhatikan karakter kebijakan agraria saat ini. Terutama dengan diterbitkannya program food estate dan dibandingkan dengan karakter kebijakan agraria zaman kolonial. Maka, saya sampai pada pemahaman yang cukup menyesakan hati. Suatu kenyataan historis yang ternyata sungguh sanggat menciderai daulat rakyat yang tertuang dalam amanat konstitusi. Bahwa secara mendasar, suka atau tidak suka, kenyataan sejarah menunjukan bahwa karakter kebijakan agraria saat ini tidak ada bedanya dengan kebijakan agrarian zaman colonial. Meski kemerdekaan sudah diproklamirkan puluhan tahun yang lalu tapi kebijakan masih saja bersifat kolonialistik. Ini adalah pekerjaan rumah yang cukup berat. Tantangan zaman yang harus dijawab oleh generasi kita saat ini, dalam upaya menyusun spirit dan karakter bangsa yang berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya.



Rabu, 06 Oktober 2010

Islam yang Damai

Kajitow Elkayeni
SEBAGAI bangsa Indonesia yang cinta damai, kita harus prihatin dengan semakin maraknya pergolakan yang dikatakan berdasarkan perintah agama. Dengan mudahnya seseorang atau golongan mengatasnamakan agama untuk berbuat dholim kepada manusia lain. Semua agama menghendaki perdamaian, rasanya kita tidak perlu mengkotak-kotakkan diri sehingga rentan terjadi friksi dengan sesama saudara kita sendiri. Kita tidak harus memploklamirkan diri sebagai satu-satunya yang paling benar, karena kebenaran hakiki itu hanya milik Tuhan Yang Maha Benar.

Telah sering kita dengar dan kita saksikan penggembar-gemboran pemberlakuan syariat islam bagi pemeluknya di sekitar kita, beberapa tahun terakhir ini. Pun sudah kita ketahui ada beberapa lagi yang ingin mendirikan khilafah islamiyah (pemerintahan negara berdasarkan hukum islam) di Republik tercinta kita. Fenomena apa ini sebenarnya? Sebaiknya kita teliti lebih jelas agar tidak sekedar ikut-ikutan panas tanpa pernah tahu motif dan dasar di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan orang jawa, anut grubyuk nanging ora ngerti rembuk (ikut-ikutan ramai tapi tidak tahu topik permasalahannya).


Sejarah telah mencatat, bangsa Indonesia plural sejak awal terbentuknya menjadi Negara Kesatuan. Bangsa kita mejemuk, berbhineka dan beragam warna. Namun kesemuanya itu adalah keindahan yang kita miliki, semua itu adalah cerminan bahwa nenek moyang kita berjiwa besar dan terbuka pada hal-hal baru. Maka keindahan ini tidak boleh ternodai dengan pemaksaan sebuah ideologi kepada orang lain. Baik oleh seorang muslim kepada sesama muslim, atau antar-umat beragama.

Sejak Indonesia merdeka, para pendiri negara sudah sepakat dengan ideologi Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Memang dalam kenyataannya hal itu belum bisa ditegakkan setegak-tegaknya, namun bukan berarti ideologi dan hukum itu telah gagal. Yang salah adalah manusia dan keadaannya, bukan kegagalan ideologi dan hukum yang memayungi kebhinekaan bangsa kita. Seorang Soekarno bukanlah anak jalanan yang tidak mengenal hukum islam, seorang Soekarno telah berdiskusi dan belajar dengan H.O.S Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh muslim sejak usia remaja. Maka Pancasila yang terlahir itu sudah mengalami proses perenungan panjang sebelum dijadikan sebuah ideologi.

Memang ada peristiwa dalam sejarah, beberapa pemuka agama lain menemui bung Hatta untuk mempertimbangkan sila pertama dari Pancasila. Tapi bukan berarti Soekarno-Hatta telah salah format, yang benar adalah; keruangan ayat pertama itu diperlebar dari makna sempit sebelumnya. Tidak hanya syariat islam saja yang berlaku bagi pemeluknya, tapi agama lain juga memberlakukan hal yang sama terhadap pemeluk agama mereka. Itu semua terkandung dalam satu rangkuman; Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan ini sebenarnya adalah keharusan sebagai bangsa berjiwa besar, karena Indonesia sejak awal terbentuknya bukan hanya terdiri dari islam saja.


Mungkin kita sering berkaca kepada negara tetangga yang bukan hanya terdiri dari muslim saja penduduknya, tapi bisa mendirikan Negara Islam. Kita harus menengok lebih jauh, setiap negara memiliki sejarah politik berbeda, setiap negara memiliki tokoh-tokoh yang tidak sama dalam menyikapi perbedaan dalam tubuh negaranya. Bahkan kita seharusnya bahagia karena bangsa kita adalah bangsa bhineka yang berjiwa besar. Umat muslim Indonesia adalah umat muslim yang paling toleran di seluruh dunia. Dari awalmula masuknya islam ke tanah air memang didakwahkan dengan cara yang halus dan penuh perdamaian. Inilah yang membuat masyarakat muslim kita jauh lebih toleran karena figur-figur toleran yang dijadikan panutan.


Sunan Kalijaga adalah salah satu figur dari sekian banyak figur yang dapat dijadikan contoh. Beliau sangat tidak suka peperangan dan politisasi agama, beginilah wajah islam sesungguhnya, amanat agama untuk menebarkan kasih sayang dan perdamaian. Karena pada dasarnya, kebenaran mutlak itu hanya milik Tuhan, bukan untuk dipertengkarkan.


Sebagai seorang muslim, mengenal islam lebih jauh itu mutlak dilakukan, untuk menimbang segala sesuatu sebelum mengatakan, sebuah tindakan itu dilakukan atas dasar agama. Tidak boleh hanya sekedar mendengar kata si anu begini-begitu, tapi harus dicari dan ditelusuri dari mana wacana itu dibentuk. Bahkan lebih jauh lagi, setiap muslim harus tahu bagaimana wajah islam sebenarnya. Kita mesti benar-benar mendalami keanekaragaman dalam tubuh islam itu sendiri, sebelum mengambil suatu dasar hukum yang dipakai oleh orang banyak.


“Alyauma akmaltu lakum diinakum. Wa-atmamtu ‘alaikum ni’matii. Warodlitu lakumul islama diinan: hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu (hukum-hukum syariat). Dan sudah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu. Serta Aku telah rela menjadikan islam sebagai agamamu.”


Ayat ini menunjukkan bahwa syariat islam sudah final dan tidak ada keraguan tentang kesempurnaannya. Saya sangat setuju jika ada yang mengatakan bahwa; syariat islam adalah pedoman bagi setiap muslim untuk menjalankan kehidupan dalam seluruh aspeknya. Meskipun kata final di sana bukan berarti sudah dijelaskan secara terperinci sehingga meniadakan perbedaan pandangan dalam penafsiran. Mulai dari penafsiran ayat, sampai penafsiran dalam menjalankan suatu perkara yang tidak-bisa-tidak berhubungan dengan keadaan yang berbeda. Bisa digaris bawahi, kata final itu masih terurai lagi sebagai bentuk penafsiran ayat tekstual dan keadaan.


Syariat islam memang mutlak dijalankan oleh pemeluknya. Ini tidak bisa ditawar oleh seorang muslim dengan alasan apa pun. Artinya menjalankan aturan agama islam itu wajib hukumnya, dengan catatan sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang. Karena hukum itu dalam fikih (fiqh) dikenal sebagai hukum asal (asli) dan hukum keadaan. Orang harus sholat dengan aturan lengkap dan tertib dalam kondisi damai, tapi sewaktu bertempur di medan perang, aturan itu menjadi tiada. Bangkai itu haram hukumnya, menjadi boleh bagi yang terdesak kelaparan. Orang sunah menikah, tapi dalam kondisi renta dan membahayakan pasangan hal itu menjadi haram. Dan banyak lagi contohnya. Hukum asal tetap ada dan menjadi hukum jelas, tapi pelaksanannya bisa bergeser sesuai keadaan.


Kemudian pertanyaan besar muncul di belakangnya, syariat islam yang bagaimana yang harus dijalankan? Aturan hukum versi siapa yang mesti diberlakukan? islam mengenal ideologi beragam sejak dulu, cabang-cabang pelaksanaan hukum terdapat khilafiah (perbedaan pendapat). Beberapa ideologi telah dikenal sejak dulu dan yang terlahir kemudian, salah satunya ahlussunah waljamaah (ASWAJA). Tapi dalam setiap ideologi-ideologi itu sendiri ada percabangan pula, bahkan ahlussunah waljamaah yang terbesar itu pun tidak memiliki satu pendapat saja, melainkan ada pandangan-pandangan lain yang sebenarnya memiliki tujuan yang baik untuk umat. Seperti sudah dikenal adanya Imam Madzhab empat yang terbesar, Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafii. Di luar itu masih banyak lagi Imam-Imam lain yang juga dianut oleh pengikutnya. Lalu peraturan hukum yang bagaimana (yang hendak ditegakkan menjadi satu aturan dari kebenaran mutlak) yang wajib dijalani seluruh umat islam di Indonesia?


Sedangkan khilafah islamiyah itu pun menghadirkan sebuah pertanyaan yang mengherankan, dari mana pengambilan dasar hukumnya? Quran yang menjadi kitab suci umat islam itu juga memiliki ragam penafsiran. Ayat-ayat yang digunakan sebagai dasar pendirian khilafah islamiyah itu masih terlalu luas untuk digarisbawahi; sebagai dasar pendirian khilafah islamiyah. Artinya ayat yang dijadikan dasar itu masih bermakna umum dan tidak bisa diartikan begitu saja, namun ada pertimbangan-pertimbangan dari segi lain yang membulatkan maknanya. Di dalam hadist pun tidak ada keterangan yang menunjukkan dasar pendirian khilafah islamiyah. Kita dapat melihat sejarah khilafah islamiyah mulai jaman dinasti-dinasti arab. Bukan pemberlakuan syariat beragam khilafiah ini yang ditegakkan, tapi semata demi kepentingan penguasa. Agama hanya sekedar jalan untuk memuluskan berdirinya suatu rezim.


“Wama arsalnaaka illa rohmatan lil’alamiina: dan tiadalah Kami mengutusmu (muhamad) melainkan sebagai (penebar) rahmat (kasih sayang) bagi serusekalian alam.”


Pada ayat yang saya cantumkan di atas itu terdapat gambaran jelas. Bahwasanya agama islam tidak menghendaki pertumpahan darah dan permusuhan. Agama islam toleran dan menginginkan kasih sayang pada seluruh penduduk dunia, baik manusia, hewan atau pun yang lainnya. Inilah yang diamanatkan Tuhan kepada Nabi Muhamad SAW. Yang harus diikuti jejaknya oleh setiap muslim. Maka apa yang sudah ditetapkan oleh pemimpin bangsa kita dulu merupakan langkah final, yang tidak perlu dirubuhkan demi sebuah wacana yang baru bersifat ilusi belaka. Islam tidak mengalami kekurangan meskipun berazaskan Pancasila. Bahkan Pancasila merupakan bentuk rangkuman kepluralan bangsa kita tanpa menghianati syariat agama islam.


Banyak orang menyorot Arab Saudi yang dinilai berhasil menjalankan teori khilafah islamiyah ini. Coba kita lihat lebih dalam, ada apa di tubuh negara itu? Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 oleh Muhammad bin Sa'ud. Dari sanalah nama negara tersebut diambil; al-mamlakah al-arobiyah as-su’udiyah (Kindom of Saudi Arabia). Dengan pengucapan bahasa kita; Kerajaan Arab Saudi. Pendirian negara itu dimotori oleh seorang tokoh agama Muhammad bin Abdul Wahhab , beliau mewariskan sebuah ideologi yang sering disebut Wahabi kepada murid dan pengikutnya. Memang seperti pengakuannya sendiri, Ibnu Abdulwahab ini bermazhab pada Imam Hambali, tapi semasa hidup, banyak praktik hukum yang berlainan dengan sumber Madzhabnya. Kemudian semakin lama berjalan, penerus Wahabi benar-benar lepas dari praktik bermazhab. Mereka mengklaim telah kembali pada Alquran dan Sunah secara langsung dengan penafsiran tertutup mereka.


Kita tidak perlu mengupas dengan detail kewahabian, karena akan sangat panjang dan melelahkan jika itu kita bicarakan disini. Yang jelas kita akan bercermin dari sana, akan kita ambil poin-poin pentingnya saja.


Apa yang sedang dijalankan di Kerajaan Arab Saudi itu bukan agama utuh, dalam arti; menjalankan ideologi-ideologi lain selain ideologi Wahabi. Jika benar di sana sedang ditegakkan hukum agama islam secara menyeluruh, sewajarnya beberapa pandangan aliran pendapat itu dijalankan atau dibebaskan untuk saling bertukar pendapat. Sebelum Wahabi dan Bani Saud (keturunan Saud) berkuasa, Masjidilharam adalah pusat belajar-mengajar beberapa Imam Madzhab. Namun sesudah Wahabi tampil, tidak ada praktik keagamaan dari ideologi lain yang boleh dijalankan selain ideologi Wahabi. Pintu toleransi terhadap pemikiran dan pendapat golongan lain ditutup rapat. Siapa pun (muslim) yang bermukim dan jadi penduduk Saudi, wajib hukumnya berprilaku dan beribadah seperti ajaran Wahabi.

Penafsiran ala Wahabi sangat tertutup dan tidak menginginkan perbandingan dari pendapat lain, sehingga sulit mengakui kebenaran versi mereka adalah kebenaran mutlak. Bahkan jika mereka membuka wacana saling tukar pendapat, kebenaran mereka pun tidak bisa disebut mutlak, karena selain Tuhan tidak ada yang mutlak di dunia ini. Apalagi mereka telah menutup pintu bagi perbedaan pendapat, bagaimana ideologi mereka bisa diakui sebagai sebuah kebenaran, apalagi kebenaran mutlak? Sejak pertama kali berkibarnya bendera Wahabi yang berkoalisi dengan pemerintahan monarki absolut Bani Saud, pertumpahan darah terjadi untuk membenarkan ideologi mereka. Ribuan nyawa terrenggut percuma demi berjalannya aturan keras mereka. Siapa pun dan dari golongan ideologi mana pun harus tunduk pada sistem tunggal Wahabi-Saud. Inikah makna rahmatan lil alamin itu? Bukankah islam menjamin perbedaan pendapat dalam dirinya? Bahkan islam terbuka dan menerima keyakinan agama lain untuk hidup bersama dengan rukun, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhamad S.A.W.

Kita hanya melihat kulit luar kondisi sesungguhnya dari negara yang dielu-elukan bernama Saudi Arabia itu. Tapi kita (mungkin) tidak tahu sejarah buram dan gejolak yang sampai sekarang ada di dalamnya. Tentunya kita masih ingat kejadian sewaktu sebuah rezim berkuasa di negara kita. Tempo masih beruntung hanya ditutup oleh rezim Soeharto, jika kejadian pengkritikan itu terjadi di Saudi, bukan hanya ditutup saja ijinnya, tapi kepala penanggung-jawabnya juga menggelinding lepas karena bisa didakwa menodai nama baik seorang raja (khalifah islam). Atau dengan istilah kerennya seperti yang dikatakan grub musik Jamrud, “dijemput dan menghilang..”


Kita sadar, banyak praktik pelanggaran hukum di negara kita yang gemah ripah luh jinawi ini. Sebagian orang beranggapan dengan pemberlakuan hukum syariat maka akan putus perkara. Padahal jika kita teliti, tujuan pemberian hukuman itu bukan pada bentuk fisik hukumannya, tapi hasil kesadaran pada orang yang dijatuhi hukuman tersebut. Di jaman jahiliyah, manusia-manusia batu yang tidak bermoral itu memang harus dikenakan hukuman keras agar mereka jera dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum lagi. Mencuri harus dipotong tangannya, berzina dirajam, minum khomer (minuman keras) harus dicambuk, dan sebagainya. Tapi kita juga harus melihat sejarah, dalam beberapa kasus, Nabi Muhamad S.A.W. tidak memberlakukan hukum berat ini, karena yang bersangkutan telah bertaubat dan menyesalinya. Jika pada jaman (selepas) a-moral itu saja sudah diberikan jalan lain selain aturan keras tadi, apalagi sekarang saat manusia telah mengalami perubahan pola pikir dan cara hidup yang sangat besar, dibanding 1400 tahun lalu.


Tindak pelanggaran hukum telah dan akan terus terjadi di belahan bumi manapun, pemberlakuan hukum keras itu tidak akan menghentikan pelakunya. Malah akan menampakkan kebengisan wajah islam. Dan pelunakan hukuman ini tidak menyalahi aturan agama, karena memang ada jalan yang diberikan oleh agama islam untuk begitu. Bahkan di Saudi yang ber-idiologi Wahabi dan berhukum keras itu pun sekarang ini mulai berpikir lunak. Kasus-kasus pemenggalam kepala dan potong tangan diberikan jalan hukum lain yang lebih lunak dan manusiawi. Jika Saudi yang terkenal kaku dan kolot itu sudah mulai memberikan hukuman dengan jalan manusiawi sebagaimana hukum di negara lain, syariat seperti apa yang hendak diberlakukan di negara Indonesia?


Saudi (Wahabi) memang terlambat untuk berpikir sebagaimana pendapat ideologi lain tentang pemberlakuan hukum syariat itu, pada akhirnya mereka toh sampai ke sana juga. Dan muslim Indonesia yang sejak dulu telah berpikir seperti itu apakah hendak berbalik arah? Kita akan hidup dalam masa lalu dengan cara yang salah. Ilusi kehidupan dan praktik hukum Nabi yang dibayangkan beberapa orang itu tidak benar-benar dapat dipastikan penerapan detailnya dalam memutuskan hukum; untuk setiap kasus hukum. Disinilah keuntungan perbedaan pendapat itu; untuk memperjelas pandangan terhadap hukum-hukum islam yang sebenarnya lentur dan manusiawi. Hukum-hukum tekstual itu menjadi landasan umat sesudah era Sohabat untuk mengambil patokan hukum dengan asas rahmatan lil’alamiin. Dan tentunya kita tidak ingin hidup dalam sebuah ilusi hukum yang kebenaran dasar hukumnya perlu dijelajahi lebih dulu secara tekstual dan kontekstual.


Lalu jika sebagian orang masih bersikeras ingin merubah Pancasila dan UUD. 45, serta menggantinya dengan sistem pemerintahan khilafah islamiyah, pemerintahan model apa yang hendak kita dirikan di atas tanah air, yang telah bersama kita perjuangkan dengan darah dan air mata ini? Kita hanya akan melahirkan Hitler dari dalam agama islam. Beberapa gelintir orang akan menggunakan alasan agama untuk menghabisi nyawa seseorang atau golongan karena perbedaan pendapat. Inikah ajaran Nabi itu? Setiap muslim memang harus menjalankan syariat islam secara individual dan berkelompok sesuai ideologinya, tapi tidak mesti mengambil salah satu ideologi untuk dipaksakan sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang harus dijalankan. Selama itu bersumber dari hukum Al-quran dan Hadist, selama itu masih menggunakan penafsiran sesuai kaidah bahasanya, pendapat dan ideologi bisa diterima asal tidak untuk memaksakannya terhadap penganut ideologi lain, apalagi kepada umat beragama lain.


Kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, setiap muslim harus menyebarkan kasih-sayang sebagai amanat agama. Saudaraku yang muslim, sebaiknya kita benar-benar harus kembali kepada ajaran dan tatanan hukum islam yang damai, sebelum menggembar-gemborkan islamisasi tanpa rujukan hukum yang jelas. Islam itu indah, damai dan mengajarkan kasihsayang, bukan menebar teror dan paksaan dengan pedang.
##


*Kajitow Elkayeni, Prajuritmuslim Pancasila. Tinggal di Makah, Saudi Arabia.
**) ayat-ayat di atas bersumber dari Al-quranul Karim, diterjemahkan bebas oleh penulis sesuai kaidah bahasa arab dan tafsir yang dipelajari olehnya.





 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog