Rabu, 06 Oktober 2010

Islam yang Damai

Kajitow Elkayeni
SEBAGAI bangsa Indonesia yang cinta damai, kita harus prihatin dengan semakin maraknya pergolakan yang dikatakan berdasarkan perintah agama. Dengan mudahnya seseorang atau golongan mengatasnamakan agama untuk berbuat dholim kepada manusia lain. Semua agama menghendaki perdamaian, rasanya kita tidak perlu mengkotak-kotakkan diri sehingga rentan terjadi friksi dengan sesama saudara kita sendiri. Kita tidak harus memploklamirkan diri sebagai satu-satunya yang paling benar, karena kebenaran hakiki itu hanya milik Tuhan Yang Maha Benar.

Telah sering kita dengar dan kita saksikan penggembar-gemboran pemberlakuan syariat islam bagi pemeluknya di sekitar kita, beberapa tahun terakhir ini. Pun sudah kita ketahui ada beberapa lagi yang ingin mendirikan khilafah islamiyah (pemerintahan negara berdasarkan hukum islam) di Republik tercinta kita. Fenomena apa ini sebenarnya? Sebaiknya kita teliti lebih jelas agar tidak sekedar ikut-ikutan panas tanpa pernah tahu motif dan dasar di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan orang jawa, anut grubyuk nanging ora ngerti rembuk (ikut-ikutan ramai tapi tidak tahu topik permasalahannya).


Sejarah telah mencatat, bangsa Indonesia plural sejak awal terbentuknya menjadi Negara Kesatuan. Bangsa kita mejemuk, berbhineka dan beragam warna. Namun kesemuanya itu adalah keindahan yang kita miliki, semua itu adalah cerminan bahwa nenek moyang kita berjiwa besar dan terbuka pada hal-hal baru. Maka keindahan ini tidak boleh ternodai dengan pemaksaan sebuah ideologi kepada orang lain. Baik oleh seorang muslim kepada sesama muslim, atau antar-umat beragama.

Sejak Indonesia merdeka, para pendiri negara sudah sepakat dengan ideologi Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Memang dalam kenyataannya hal itu belum bisa ditegakkan setegak-tegaknya, namun bukan berarti ideologi dan hukum itu telah gagal. Yang salah adalah manusia dan keadaannya, bukan kegagalan ideologi dan hukum yang memayungi kebhinekaan bangsa kita. Seorang Soekarno bukanlah anak jalanan yang tidak mengenal hukum islam, seorang Soekarno telah berdiskusi dan belajar dengan H.O.S Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh muslim sejak usia remaja. Maka Pancasila yang terlahir itu sudah mengalami proses perenungan panjang sebelum dijadikan sebuah ideologi.

Memang ada peristiwa dalam sejarah, beberapa pemuka agama lain menemui bung Hatta untuk mempertimbangkan sila pertama dari Pancasila. Tapi bukan berarti Soekarno-Hatta telah salah format, yang benar adalah; keruangan ayat pertama itu diperlebar dari makna sempit sebelumnya. Tidak hanya syariat islam saja yang berlaku bagi pemeluknya, tapi agama lain juga memberlakukan hal yang sama terhadap pemeluk agama mereka. Itu semua terkandung dalam satu rangkuman; Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan ini sebenarnya adalah keharusan sebagai bangsa berjiwa besar, karena Indonesia sejak awal terbentuknya bukan hanya terdiri dari islam saja.


Mungkin kita sering berkaca kepada negara tetangga yang bukan hanya terdiri dari muslim saja penduduknya, tapi bisa mendirikan Negara Islam. Kita harus menengok lebih jauh, setiap negara memiliki sejarah politik berbeda, setiap negara memiliki tokoh-tokoh yang tidak sama dalam menyikapi perbedaan dalam tubuh negaranya. Bahkan kita seharusnya bahagia karena bangsa kita adalah bangsa bhineka yang berjiwa besar. Umat muslim Indonesia adalah umat muslim yang paling toleran di seluruh dunia. Dari awalmula masuknya islam ke tanah air memang didakwahkan dengan cara yang halus dan penuh perdamaian. Inilah yang membuat masyarakat muslim kita jauh lebih toleran karena figur-figur toleran yang dijadikan panutan.


Sunan Kalijaga adalah salah satu figur dari sekian banyak figur yang dapat dijadikan contoh. Beliau sangat tidak suka peperangan dan politisasi agama, beginilah wajah islam sesungguhnya, amanat agama untuk menebarkan kasih sayang dan perdamaian. Karena pada dasarnya, kebenaran mutlak itu hanya milik Tuhan, bukan untuk dipertengkarkan.


Sebagai seorang muslim, mengenal islam lebih jauh itu mutlak dilakukan, untuk menimbang segala sesuatu sebelum mengatakan, sebuah tindakan itu dilakukan atas dasar agama. Tidak boleh hanya sekedar mendengar kata si anu begini-begitu, tapi harus dicari dan ditelusuri dari mana wacana itu dibentuk. Bahkan lebih jauh lagi, setiap muslim harus tahu bagaimana wajah islam sebenarnya. Kita mesti benar-benar mendalami keanekaragaman dalam tubuh islam itu sendiri, sebelum mengambil suatu dasar hukum yang dipakai oleh orang banyak.


“Alyauma akmaltu lakum diinakum. Wa-atmamtu ‘alaikum ni’matii. Warodlitu lakumul islama diinan: hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu (hukum-hukum syariat). Dan sudah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu. Serta Aku telah rela menjadikan islam sebagai agamamu.”


Ayat ini menunjukkan bahwa syariat islam sudah final dan tidak ada keraguan tentang kesempurnaannya. Saya sangat setuju jika ada yang mengatakan bahwa; syariat islam adalah pedoman bagi setiap muslim untuk menjalankan kehidupan dalam seluruh aspeknya. Meskipun kata final di sana bukan berarti sudah dijelaskan secara terperinci sehingga meniadakan perbedaan pandangan dalam penafsiran. Mulai dari penafsiran ayat, sampai penafsiran dalam menjalankan suatu perkara yang tidak-bisa-tidak berhubungan dengan keadaan yang berbeda. Bisa digaris bawahi, kata final itu masih terurai lagi sebagai bentuk penafsiran ayat tekstual dan keadaan.


Syariat islam memang mutlak dijalankan oleh pemeluknya. Ini tidak bisa ditawar oleh seorang muslim dengan alasan apa pun. Artinya menjalankan aturan agama islam itu wajib hukumnya, dengan catatan sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang. Karena hukum itu dalam fikih (fiqh) dikenal sebagai hukum asal (asli) dan hukum keadaan. Orang harus sholat dengan aturan lengkap dan tertib dalam kondisi damai, tapi sewaktu bertempur di medan perang, aturan itu menjadi tiada. Bangkai itu haram hukumnya, menjadi boleh bagi yang terdesak kelaparan. Orang sunah menikah, tapi dalam kondisi renta dan membahayakan pasangan hal itu menjadi haram. Dan banyak lagi contohnya. Hukum asal tetap ada dan menjadi hukum jelas, tapi pelaksanannya bisa bergeser sesuai keadaan.


Kemudian pertanyaan besar muncul di belakangnya, syariat islam yang bagaimana yang harus dijalankan? Aturan hukum versi siapa yang mesti diberlakukan? islam mengenal ideologi beragam sejak dulu, cabang-cabang pelaksanaan hukum terdapat khilafiah (perbedaan pendapat). Beberapa ideologi telah dikenal sejak dulu dan yang terlahir kemudian, salah satunya ahlussunah waljamaah (ASWAJA). Tapi dalam setiap ideologi-ideologi itu sendiri ada percabangan pula, bahkan ahlussunah waljamaah yang terbesar itu pun tidak memiliki satu pendapat saja, melainkan ada pandangan-pandangan lain yang sebenarnya memiliki tujuan yang baik untuk umat. Seperti sudah dikenal adanya Imam Madzhab empat yang terbesar, Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafii. Di luar itu masih banyak lagi Imam-Imam lain yang juga dianut oleh pengikutnya. Lalu peraturan hukum yang bagaimana (yang hendak ditegakkan menjadi satu aturan dari kebenaran mutlak) yang wajib dijalani seluruh umat islam di Indonesia?


Sedangkan khilafah islamiyah itu pun menghadirkan sebuah pertanyaan yang mengherankan, dari mana pengambilan dasar hukumnya? Quran yang menjadi kitab suci umat islam itu juga memiliki ragam penafsiran. Ayat-ayat yang digunakan sebagai dasar pendirian khilafah islamiyah itu masih terlalu luas untuk digarisbawahi; sebagai dasar pendirian khilafah islamiyah. Artinya ayat yang dijadikan dasar itu masih bermakna umum dan tidak bisa diartikan begitu saja, namun ada pertimbangan-pertimbangan dari segi lain yang membulatkan maknanya. Di dalam hadist pun tidak ada keterangan yang menunjukkan dasar pendirian khilafah islamiyah. Kita dapat melihat sejarah khilafah islamiyah mulai jaman dinasti-dinasti arab. Bukan pemberlakuan syariat beragam khilafiah ini yang ditegakkan, tapi semata demi kepentingan penguasa. Agama hanya sekedar jalan untuk memuluskan berdirinya suatu rezim.


“Wama arsalnaaka illa rohmatan lil’alamiina: dan tiadalah Kami mengutusmu (muhamad) melainkan sebagai (penebar) rahmat (kasih sayang) bagi serusekalian alam.”


Pada ayat yang saya cantumkan di atas itu terdapat gambaran jelas. Bahwasanya agama islam tidak menghendaki pertumpahan darah dan permusuhan. Agama islam toleran dan menginginkan kasih sayang pada seluruh penduduk dunia, baik manusia, hewan atau pun yang lainnya. Inilah yang diamanatkan Tuhan kepada Nabi Muhamad SAW. Yang harus diikuti jejaknya oleh setiap muslim. Maka apa yang sudah ditetapkan oleh pemimpin bangsa kita dulu merupakan langkah final, yang tidak perlu dirubuhkan demi sebuah wacana yang baru bersifat ilusi belaka. Islam tidak mengalami kekurangan meskipun berazaskan Pancasila. Bahkan Pancasila merupakan bentuk rangkuman kepluralan bangsa kita tanpa menghianati syariat agama islam.


Banyak orang menyorot Arab Saudi yang dinilai berhasil menjalankan teori khilafah islamiyah ini. Coba kita lihat lebih dalam, ada apa di tubuh negara itu? Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 oleh Muhammad bin Sa'ud. Dari sanalah nama negara tersebut diambil; al-mamlakah al-arobiyah as-su’udiyah (Kindom of Saudi Arabia). Dengan pengucapan bahasa kita; Kerajaan Arab Saudi. Pendirian negara itu dimotori oleh seorang tokoh agama Muhammad bin Abdul Wahhab , beliau mewariskan sebuah ideologi yang sering disebut Wahabi kepada murid dan pengikutnya. Memang seperti pengakuannya sendiri, Ibnu Abdulwahab ini bermazhab pada Imam Hambali, tapi semasa hidup, banyak praktik hukum yang berlainan dengan sumber Madzhabnya. Kemudian semakin lama berjalan, penerus Wahabi benar-benar lepas dari praktik bermazhab. Mereka mengklaim telah kembali pada Alquran dan Sunah secara langsung dengan penafsiran tertutup mereka.


Kita tidak perlu mengupas dengan detail kewahabian, karena akan sangat panjang dan melelahkan jika itu kita bicarakan disini. Yang jelas kita akan bercermin dari sana, akan kita ambil poin-poin pentingnya saja.


Apa yang sedang dijalankan di Kerajaan Arab Saudi itu bukan agama utuh, dalam arti; menjalankan ideologi-ideologi lain selain ideologi Wahabi. Jika benar di sana sedang ditegakkan hukum agama islam secara menyeluruh, sewajarnya beberapa pandangan aliran pendapat itu dijalankan atau dibebaskan untuk saling bertukar pendapat. Sebelum Wahabi dan Bani Saud (keturunan Saud) berkuasa, Masjidilharam adalah pusat belajar-mengajar beberapa Imam Madzhab. Namun sesudah Wahabi tampil, tidak ada praktik keagamaan dari ideologi lain yang boleh dijalankan selain ideologi Wahabi. Pintu toleransi terhadap pemikiran dan pendapat golongan lain ditutup rapat. Siapa pun (muslim) yang bermukim dan jadi penduduk Saudi, wajib hukumnya berprilaku dan beribadah seperti ajaran Wahabi.

Penafsiran ala Wahabi sangat tertutup dan tidak menginginkan perbandingan dari pendapat lain, sehingga sulit mengakui kebenaran versi mereka adalah kebenaran mutlak. Bahkan jika mereka membuka wacana saling tukar pendapat, kebenaran mereka pun tidak bisa disebut mutlak, karena selain Tuhan tidak ada yang mutlak di dunia ini. Apalagi mereka telah menutup pintu bagi perbedaan pendapat, bagaimana ideologi mereka bisa diakui sebagai sebuah kebenaran, apalagi kebenaran mutlak? Sejak pertama kali berkibarnya bendera Wahabi yang berkoalisi dengan pemerintahan monarki absolut Bani Saud, pertumpahan darah terjadi untuk membenarkan ideologi mereka. Ribuan nyawa terrenggut percuma demi berjalannya aturan keras mereka. Siapa pun dan dari golongan ideologi mana pun harus tunduk pada sistem tunggal Wahabi-Saud. Inikah makna rahmatan lil alamin itu? Bukankah islam menjamin perbedaan pendapat dalam dirinya? Bahkan islam terbuka dan menerima keyakinan agama lain untuk hidup bersama dengan rukun, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhamad S.A.W.

Kita hanya melihat kulit luar kondisi sesungguhnya dari negara yang dielu-elukan bernama Saudi Arabia itu. Tapi kita (mungkin) tidak tahu sejarah buram dan gejolak yang sampai sekarang ada di dalamnya. Tentunya kita masih ingat kejadian sewaktu sebuah rezim berkuasa di negara kita. Tempo masih beruntung hanya ditutup oleh rezim Soeharto, jika kejadian pengkritikan itu terjadi di Saudi, bukan hanya ditutup saja ijinnya, tapi kepala penanggung-jawabnya juga menggelinding lepas karena bisa didakwa menodai nama baik seorang raja (khalifah islam). Atau dengan istilah kerennya seperti yang dikatakan grub musik Jamrud, “dijemput dan menghilang..”


Kita sadar, banyak praktik pelanggaran hukum di negara kita yang gemah ripah luh jinawi ini. Sebagian orang beranggapan dengan pemberlakuan hukum syariat maka akan putus perkara. Padahal jika kita teliti, tujuan pemberian hukuman itu bukan pada bentuk fisik hukumannya, tapi hasil kesadaran pada orang yang dijatuhi hukuman tersebut. Di jaman jahiliyah, manusia-manusia batu yang tidak bermoral itu memang harus dikenakan hukuman keras agar mereka jera dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum lagi. Mencuri harus dipotong tangannya, berzina dirajam, minum khomer (minuman keras) harus dicambuk, dan sebagainya. Tapi kita juga harus melihat sejarah, dalam beberapa kasus, Nabi Muhamad S.A.W. tidak memberlakukan hukum berat ini, karena yang bersangkutan telah bertaubat dan menyesalinya. Jika pada jaman (selepas) a-moral itu saja sudah diberikan jalan lain selain aturan keras tadi, apalagi sekarang saat manusia telah mengalami perubahan pola pikir dan cara hidup yang sangat besar, dibanding 1400 tahun lalu.


Tindak pelanggaran hukum telah dan akan terus terjadi di belahan bumi manapun, pemberlakuan hukum keras itu tidak akan menghentikan pelakunya. Malah akan menampakkan kebengisan wajah islam. Dan pelunakan hukuman ini tidak menyalahi aturan agama, karena memang ada jalan yang diberikan oleh agama islam untuk begitu. Bahkan di Saudi yang ber-idiologi Wahabi dan berhukum keras itu pun sekarang ini mulai berpikir lunak. Kasus-kasus pemenggalam kepala dan potong tangan diberikan jalan hukum lain yang lebih lunak dan manusiawi. Jika Saudi yang terkenal kaku dan kolot itu sudah mulai memberikan hukuman dengan jalan manusiawi sebagaimana hukum di negara lain, syariat seperti apa yang hendak diberlakukan di negara Indonesia?


Saudi (Wahabi) memang terlambat untuk berpikir sebagaimana pendapat ideologi lain tentang pemberlakuan hukum syariat itu, pada akhirnya mereka toh sampai ke sana juga. Dan muslim Indonesia yang sejak dulu telah berpikir seperti itu apakah hendak berbalik arah? Kita akan hidup dalam masa lalu dengan cara yang salah. Ilusi kehidupan dan praktik hukum Nabi yang dibayangkan beberapa orang itu tidak benar-benar dapat dipastikan penerapan detailnya dalam memutuskan hukum; untuk setiap kasus hukum. Disinilah keuntungan perbedaan pendapat itu; untuk memperjelas pandangan terhadap hukum-hukum islam yang sebenarnya lentur dan manusiawi. Hukum-hukum tekstual itu menjadi landasan umat sesudah era Sohabat untuk mengambil patokan hukum dengan asas rahmatan lil’alamiin. Dan tentunya kita tidak ingin hidup dalam sebuah ilusi hukum yang kebenaran dasar hukumnya perlu dijelajahi lebih dulu secara tekstual dan kontekstual.


Lalu jika sebagian orang masih bersikeras ingin merubah Pancasila dan UUD. 45, serta menggantinya dengan sistem pemerintahan khilafah islamiyah, pemerintahan model apa yang hendak kita dirikan di atas tanah air, yang telah bersama kita perjuangkan dengan darah dan air mata ini? Kita hanya akan melahirkan Hitler dari dalam agama islam. Beberapa gelintir orang akan menggunakan alasan agama untuk menghabisi nyawa seseorang atau golongan karena perbedaan pendapat. Inikah ajaran Nabi itu? Setiap muslim memang harus menjalankan syariat islam secara individual dan berkelompok sesuai ideologinya, tapi tidak mesti mengambil salah satu ideologi untuk dipaksakan sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang harus dijalankan. Selama itu bersumber dari hukum Al-quran dan Hadist, selama itu masih menggunakan penafsiran sesuai kaidah bahasanya, pendapat dan ideologi bisa diterima asal tidak untuk memaksakannya terhadap penganut ideologi lain, apalagi kepada umat beragama lain.


Kebenaran mutlak hanya milik Tuhan, setiap muslim harus menyebarkan kasih-sayang sebagai amanat agama. Saudaraku yang muslim, sebaiknya kita benar-benar harus kembali kepada ajaran dan tatanan hukum islam yang damai, sebelum menggembar-gemborkan islamisasi tanpa rujukan hukum yang jelas. Islam itu indah, damai dan mengajarkan kasihsayang, bukan menebar teror dan paksaan dengan pedang.
##


*Kajitow Elkayeni, Prajuritmuslim Pancasila. Tinggal di Makah, Saudi Arabia.
**) ayat-ayat di atas bersumber dari Al-quranul Karim, diterjemahkan bebas oleh penulis sesuai kaidah bahasa arab dan tafsir yang dipelajari olehnya.




Related Article:

0 comments:


 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog