Rabu, 06 Oktober 2010

MENGENANG BAHASA PERSATUAN INDONESIA

Kajitow Elkayeni

Sulit kita bayangkan seandainya masyarakat majemuk di suata-u daerah tertentu tidak menggunakan bahasa pokok untuk berkomunikasi. Dalam kondisi darurat mungkin masih bisa digunakan isyarat, padahal tidak semua hal bisa diwakili isyarat. Seperti menyatakan warna yang berdekatan, bau tertentu, atau bilangan yang rumit. Lebih mustahil lagi kalau setiap individu dalam lingkungan majemuk tersebut sama sekali tidak ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Karena pada dasarnya manusia itu mahluk sosial. Kebutuhan manusia akan komunikasi terhadap sesamanya seperti perlunya ikan terhadap air.

Butuhnya manusia akan bahasa ini memang tidak dapat dipisahkan dari awal munculnya manusia paling mula sekalipun. Maka dari itu sampai sekarang setiap generasi dari setiap kelompok masyarakat memiliki bahasa masing-masing yang berbeda. Semua itu tentunya sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut dengan kelompoknya sejalan dengan perkembangan populasi mereka. Jika kemudian beberapa kelompok masyarakat berkumpul dalam satu lingkungan kesatuan, maka tidak ada pilihan lain kecuali memahami seluruh bahasa yang berbeda itu atau menentukan satu bahasa pokok untuk memudahkan mereka berkomunikasi. Pilihan ke dua tentu lebih mudah dilaksanakan dilihat dari segi penggunaan dan pembelajarannya.

Bahasa pokok atau lazim kita kenal dengan bahasa persatuan juga memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya jika pada sebagian kelompok masyarakat masih mengedepankan bahasa ibu dan enggan menomor-satukan bahasa persatuan. Dengan kata lain tidak bisa menerima sepenuhnya bahasa persatuan tersebut sebagai bahasa superior. Hal ini terjadi jika masyarakat tertentu masih berpikiran sempit dan mengangungkan primordialisme. Bisa juga pergeseran budaya yang membuat bahasa pokok tadi mengalami degradasi. Sesuai sifatnya, kebudayaan pasti mengalami perubahan. Dan bahasa yang merupakan cabang dari budaya tak luput dari perkembangan itu.

Sebagai bangsa majemuk seperti Indonesia, kita harus bangga karena di antara sekian banyak bahasa, kita memilih satu Bahasa Persatuan: yakni Bahasa Indonesia. Beberapa suku kuat seperti Jawa, Sunda dan beberapa suku lainnya menerima dengan lapang dada penggunaan bahasa Indonesia yang berinduk pada Bahasa Melayu dan hasil serapan dari bahasa-bahasa lain. Orang-orang terdahulu sadar bahwa komunikasi mengedepankan kemudahan, dan Bahasa Melayu relatif lebih mudah karena sudah dikenal oleh banyak orang dalam perdagangan. Kesadaran akan hal ini lah yang seharusnya membuat kita mempertahankan satu-satunya bahasa "terpilih" itu agar tetap murni dari unsur-unsur yang dapat merusak tatanannya. Meskipun kita juga sadar sepenuhnya bahwa kebudayaan pasti mengalami pergeseran, tetapi tentu ada perbedaan besar antara yang dibiarkan rusak dengan yang dipelihara dengan sekuat tenaga. Kita bisa bercermin pada bangsa eropa yang tetap teguh dengan bahasa persatuan mereka meskipun telah berbaur dengan bahasa dari kebudayaan bangsa lain. Jika karena alasan modernitas yang membuat bahasa pokok dipinggirkan, kurang modernkah mereka dibanding kita?

Melihat dinamika dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya kita perlu merenungkan kemurnian bahasa persatuan ini lebih jauh lagi. Bahasa persatuan yang kita warisi dari orang-orang masa lalu ini perlahan-lahan mulai tersisih. Orang akan tertawa jika melihat sebuah percakapan tidak resmi yang menggunakan bahasa baku. Atau lihatlah acara pertelevisian, bagaimana sinetron dan acara lain dipenuhi bahasa gaul lu-gwa. Ini sebuah bukti bahwa generasi penerus merasa malu mewarisi bahasa kuno pendahulu mereka. Dan terlihat mereka tidak lagi bangga menggunakan bahasa persatuan.

Bahkan ada sebuah acara berita di salah satu stasiun televisi yang berembel-embel Pendidikan Indonesia secara terang-terangan mewarnai acara mereka dengan dialek Betawi. Mereka begitu bangga dengan primordialisme yang mereka angkat itu. Mungkin karena gengsi jika dikatakan tidak gaul, atau bisa jadi ada misi tertentu yang bersembunyi di dalamnya, seperti pengagungan budaya tertentu berdasarkan letak geografisnya. Padahal acara berita pada setasiun televisi swasta yang sedang bermasalah itu bukan ajang budaya tertentu. Dan selayaknya berita seharusnya mereka mengusung bahasa pokok untuk menyampaikan informasi kepada khalayak yang majemuk seperti bangsa kita ini.

Mungkin wacana pemindahan Ibukota itu perlu didukung sepenuhnya jika melihat pergeseran bahasa pokok dikarenakan pengaruh lokasinya, di samping permasalahan lain seperti kemacetan, urbanisasi, dan rawan gempa tentunya. Artinya, seolah tercipta persepsi karena keberadaan Ibukota di daerah tertentu, maka kebudayaan daerah itu yang harus dinomor-satukan. Padahal jika membaca sejarah, Bahasa Betawi muncul oleh karena keberadaan sekelompok pekerja paksa yang diangkut oleh Belanda ke Batavia. Bahasa dadakan karena keadaan ini kemudian mendapatkan tempat yang bahkan melebihi Bahasa Persatuan yang telah disepakati bersama oleh suku-suku yang jauh lebih tua. Jika pencemaran bahasa dan upaya primordialisme ini dibiarkan berlanjut, maka akan terjadi sikap etnosentrisme (sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain; selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya) dan ini mengancam persatuan yang sejak lama kita bangun. Pada akhirnya sumpah pemuda yang kita banggakan itu sudah tidak ada artinya lagi. Bahasa persatuan benar-benar akan menjadi dongeng sebelum tidur dan tak lebih hanya tinggal kenangan dalam pidato resmi saja.

Kajitow Elkayeni
Pemerhati Budaya, tinggal di Purwodadi

Related Article:

0 comments:


 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog