Sabtu, 05 September 2009

Merdeka di Bulan Puasa, Setelah Pemilu, Teroris dan Kematian

Irwan Bajang

SAYA baru sadar bahwa bulan ini, atau tepatnya momen belakangan ini adalah momen yang banyak sekali memotret pristiwa. Kalau kita amati, setidaknya dua bulan belakangan ini, sungguh bayak sekali pristiwa menomental yang terjadi. Mulai pemilu, lengkap dengan beberapa masalah dan juga kekurangannya, disambut dengan datangnya kembali teroris yang membuat huru-hara, lalu dilanjutkan kematian Mbah Surip dengan segala tetek bengek royalty RBTnya, juga kematian si Burung Merak Rendra, kemerdekaan Indonesia, dan bulan puasa. Bahakan, sebentar lagi kita akan lebaran, lalu di ujung bulan September, kita akan mengenang tragedy berdarah 1965 yang masih jadi misteri tak terpecahkan hingga saat ini, dan tentu saja banyak momen lain yang tak kalah penting dengan banyak kejadian di atas.

Saya baru sadar, ternyata saat inilah saat yang paling banyak momen beruntun dalam hidup saya. Saya tidak sedang ingin mebicarakan banyak hal yang barangkali terkait atau barangkali juga tidak. Saya hanya ingin melihat sebuah pristiwa yang paling transdental dalam sejarah bangsa kita, yakni kemerdekaan. Ya, kemerdekaan republik Indonesia yang ke 64.

Anda barangkali tahu ke mana arah pembicaraan ini. Saya akan menyoal lagi kemerdekaan Indonesia. Anda bosan? Atu anda ingin berhenti membaca dan melemparkan kertas ini ke keranjang sampah? Hahaha… tunggulah sejenak, saya ingin berbicara sesuatu. Mungkin hal ini sangat klise, tapi saya tidak juga sedang ingin mempermasalhakannya. Saya hanya ingin bertanya pada diri saya sendiri, apakah memang kemerdekaan ini sudah saya rasakan atau belum? Tentu saja akan saya jawab sendiri dengan apa yang saya rasakan saat ini.

17 Agustus 2009. Pagi-pagi sekali saya bangun, lalu menyalakan tv dan menonton. Berita-berita mengabarkan kemerdekaan. Mulai dari liputan jejak pahlawan, upacara bendera, hingga wawancara dengan para veteran perang di era perjuangan dulu. Saya berhamburan ke jalan, saya melihat banyak kendaraan memasang bendera merah putih ada yang besar dan ada yang pula yang kecil. Headline sejumlah surat kabar juga menggambarkan kemeriahan tersebut. Masih banyak lomba-lomba rakyat, balap karung, sendok kelereng, panjat pinang, sepak bola dangdut dan lain sebagainya. Semuanya ingin memeriahakan 17 Agustus, mewarnai kemerdekaan dan menikmati kebebasan tanpa Negara jajahan.

Apakah ini kemerdekaan sesungguhnya? Kemerdekaan yang penuh dengan pertunjukan tari di istana Negara? Kemerdekaan yang penuh dengan upacara bendera, pawai, karnaval dan lain sebagainya? Lalu kalau ada yang bertanya apakah saya sudah merdeka? Saya belum ingin menjawab. Saya hanya ingin menjabarkan pendapat saya.

Bahwa, kemerdekaan adalah saat-saat di mana rakyat jelata tidak kesulitan untuk mempertahankan hidupnya. Tidak sulit membeli bahan makanan pokok, yang harganya terus membumbung tinggi, Tidak sulit memperoleh minyak tanah yang harganya melangit dan sulit ditemukan, sementara elpiji juga dibayangi oleh kenaikan.

Bagi saya, kemerdekaan itu adalah saat-saat ketika para nelayan tidak kesulitan untuk melaut, mencari ikan untuk menyambung hidupnya. Tidak kesulitan untuk memperoleh solar untuk menghidupkan perahu motornya, tidak sulit menjual ikan-ikan hasil tangkapannya dengan harga yang pantas. Tidak lagi mengantungkan diri pada tangan-tangan dingin sang tengkulak.

Dan menurut pendapat saya (lagi), kemerdekaaan itu adalah saat-saat di mana para buruh dapat bekerja dengan tenang dengan UMR yang pantas dan tanpa dibayangi oleh PHK dan outsourcing yang sepihak. Tanpa harus mengeluh anak istrinya kelaparan, tanpa harus bingung mencari obat saat sakit. Tanpa harus jengah dengan biaya sekolah yang semakin melambung.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana para TKW dan pejuang-pejuang devisa, tidak diperlakukan seperti budak, yang disiksa, diperkosa, dan berita-berita tentang mereka tak kalah jadi headline seperti Manohara.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana anak-anak kita mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan murah, bahkan secara gratis, dapat sekolah di mana saja tanpa ketakutan ada pungutan-pungutan resmi maupun setengah resmi dan atau illegal tapi merasa resmi, tanpa rasa minder memasuki sekolah favorit yang kebanyakan dihuni oleh anak-anak dari orang tua yang kaya-raya.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana guru-guru dapat mengajar dengan tenang tanpa dibayangi oleh tuntutan kebutuhan rumah tangganya yang makin melonjak, tanpa harus menyambi jadi tukang becak, ojek atau pemulung, atau harus mengajar disekolah lain demi mencari tambahan penghasilan. Demi dapur tetap ngebul. Demi keluarga agar bisa makan.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana rakyat diperlakukan secara adil dan tidak pandang bulu di mata hukum. Copet uang lima ribu perak sudah babak belur dihakimi massa, bahkan hingga tewas, ditambah lagi harus mendekam di penjara, sementara koruptor boleh bebas sebebas-bebasnya, masuk penjara juga penjara rumahan, dapat hak istimewa, tidak dengan napi yang lain.

Kemerdekaan itu adalah saat-saat di mana rakyat jelata merasakan ketenteraman, tidak dibayangi oleh ancaman-ancaman terorisme, tindakan semena-mena, penggusuran dan penindasan. Kemerdekaan itu adalah saat-saat ketika bangsa Indonesia merasakan kebebasan, bukan saja secara politik, tetapi juga secara budaya, hukum, ekonomi dan social.

Kemerdekaan itu, seperti yang digambarkan oleh W.S. Rendra dalam puisinya berikut ini :

Negara tak mungkin lagi diutuhkan
Tanpa rakyatnya dimanusiakan
Dan manusia tak mungkin menjadi manusia
Tanpa dihidupkan hati nuraninya
Hati nurani adalah hakim adil untuk diri kita sendiri
Hati nurani adalah sendi dari kesadaran
Akan kemerdekaan pribadi
Dengan puisi ini aku bersaksi
Bahwa hati nurani ini mesti dibakar
Tidak bisa menjadi abu
Hati nurani senantiasa bersemi
Meski sudah ditebang putus di batang

Yogyakarta, 18 Agustus 2oo9
Ganbar diambil dari sini





Gambar diambil dari sini



Related Article:

3 comments:

artherpantherolii mengatakan...

Definisi kemerdekaan yang kau tulis di sini mencangkup semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bercita-cita kemakmuran bagi rakyatnya. Sayang sekali yang masih(sementara) berjalan adalah ironinya. Teori dan praktek yang berlaku di negara kita tercinta ini adalah dua sisi mata uang, kalaupun dia dalam bentuk uang kertas sungguh lecek dan lapuk.

sedikit koreksi ; bukankah artikel ini tidak dicetak di atas kertas ? jadi, ada kalimat yang agak menggangu di atas.

salamku..

Abdullah, M.Tr.Kom mengatakan...

ada hal yang perlu di sadari saat anda menulis tulisan ini.
1. pengertian kemerdekaan yang saudara sampaikan hanya ulasan kekecewaan anda terhadap kondisi bangsa ini.

2. hemat saya, anda belum memahami memperingati HUT RI yang umumnya masyarakat umum adakan. karena idealis yang demokrastis.
meski anda tidak menjawab apakah negara ini merdeka atau tidak,tapi tulisan anda sudah menjelaskan real alasan anda untuk melihat sisi lain dari kemerdekaan yang kurang puas terhdap hal-hal yang selama ini turun temurun bangasa ini jalani.
sekian..
thanks..
tulisan yang bagus.. capek mata membaca ingin lansung del+shift text koment ini, karena bingung.. kepanjangan tulisan anda..untuk saya komentari..

irwanbajang mengatakan...

@Arther: saya selalu merasakan hal ini setiap kali saya melihat banyak manusia yang masih hidup belum seimbang di negara ini Bung. Makasih sekali atas koreksinya.

@Abdullah: betul sekali Bung, saya sungguh belum memahaminya, saya butuh banyak penjelasan dari jutaan orang yang mengerti akan hal ini. berapa orang yang merasakan?
hmmmm
saya tidak begitu pahjam dan saya sungguh sangat kecewa dengan diri saya sendiri.
Komentar ANda juga bagus sekali bung!!Terimakasih untuk yang memberi masukan!!


 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog