Jumat, 22 Oktober 2010

Masa Depan Politik Indonesia: Oligarki Tanpa Batas

Oleh: John Petrus Talan


Beberapa tahun terakhir media massa senantiasa menghadirkan oligarki politik sebagai banalitas dalam realita politik kontemporer Indonesia. rentetan kasus yang dipulikasikan, seringkali berakir dalam kamar negosiasi tanpa masuk ke ranah hukum. Elit politik di Indonesia seakan menjadi superhuman yang tak tersentuh oleh supremasi hukum.

Penegakan hukum menjadi sekedar sebuah pentas sandiwara, semua actor dapat mejadi sutradara yang mampu mengobrak-abrik pentas tersebut. Terlampau sering para elit politik mempersalahkan undang-undang dan lembaga hukum untuk mencari celah pembenaran. Partai politik menjadi institusi hirarkis oligarki, dengan tujuan mengamankan kepentingan usaha sang pemimpin. Semakin kecil kedudukan, semakin kecil peran dan semakin menghamba pada otoritas pimpinan pusat.

Masyarakat sekedar menjadi penonton sembari sesekali berguman itulah politik. Pada saatnya menjadi alat mobilisasi atas nama demokrasi demi kekuasaan.

Disorientasi politik kekuasaan

Politik dan kekuasaan merupakan konsep yang secara intuitif dapat dipahami, namun sulit untuk didefenisikan tanpa kehilangan sebagian makna. Secara de facto politik ada seiring dengan lahirnya kebutuhan atas pengaturan. Kekuasaan muncul sebagai intrumen otoritatif yang memiliki legitimasi untuk membentuk keteraturan. Pada masa primitif, pemimpin lahir secara alamiah sebagai sosok yang memiliki kemampuan lebih dalam aktifitas menyiasati alam sebagai upaya subsisten. Sementara Era feodal, kekuasaan memiliki keterkaitan dengan kosmologi, pemimpin merupakan representasi dari wujud tertinggi yang mengatur semesta dalam sistem kepercayaan masyarakat. Kekuasaan diwariskan secara geneologis dan bersifat mutlak.

Dalam historiografi teori, atas dasar ide Plato memetakan kekuasaan sebagai “Pathein” atau persuasi untuk urusan dalam negeri dan ‘Bia” atau paksaan untuk urusan keluar. Ketika itu citra baik melekat pada kekuasaan. Kekuasaan senantiasa demi kebajikan, kebaikan, keadilan dan kekebasan. Saat Sokrates gurunya dihukum mati, Plato terlempar dari dunia idenya sendiri. Ia terpaksa menerima bahwa kekuasaan berwajah ganda.

Belasan abad setelah Plato, pemikir realis klasik Marciavelli menunjukkan wajah ganda kekuasaan tersebut. Dalam il principle ia menuliskan bahwa kekuasaan bukanlah alat yang mengabdi pada kebaikan, kebajikan maupun keadilan dan kebebasan. Kekuasaan adalah alat yang mengabdi pada kepentingan negara itu sendiri. Sejak itulah “yang abadi dalam politik adalah kepentingan” menjadi dalil utama dalam politik. Oleh kaum realis prinsip etis dalam kekuasaan ditunjukkan sebagai sekedar subordinasi dari term kepentingan.

Kontrak sosial mewarnai jagad filsafat politik modern fase awal, dengan negara sebagai instrument politik baru menggantikan tatanan monarki absolut. Demokrasi menjadi mekanisme politik dimana Manusia menjadi subyek yang mengatur dirinya sendiri dan setara satu dengan lainnya. Kekuasaan dikonsepsikan sebagai wadah artikulasi kepentingan rakyat, yang memberikan legitimasi pemimpin yang dipilihnya.

Kekuasaan hadir dengan wajah manusiawi. Proses politik merupakan gerak sadar manusia dalam memberi sikap. Ini gegap-gempita Eropa yang merayakan kebebasannya, untuk negara dunia ketiga seperti Indonesia hanya ada didalam kamar ide yang sesekali muncul sebagai politik verbal.

Kepentingan dalam analisis politik berkembang menjadi laba, ketika kekuasaan oleh rezim pasar di-komodifikasi-kan. Karl Marx menjadi penanda atas era ekonomi politik dalam kritik terhadap kapitalisme. Negara ditampilkan sebagai representasi dari kelompok dominan yang memiliki Kapital.

Modal sebagai sistem akumulatif menggorganisir keinginan manusia menjadi kepentingan. Kekuasaan menghamba pada upaya akumulasi, selanjutnya menjadi kamar-kamar bergeraknya kepentingan, dalam dunia kapitalisme. Seperti itulah Indonesia. Sebagai kebenaran atas apa yang terjadi di Indonesia, tentunya analisis yang monolitik. Namun itulah sebagian besar kenyataan politik Indonesia.

Di Indonesia, negara sebagai manifestasi kedulatan rakyat hanya hadir sebagai euforia sesaat setiap peristiwa perubahan. Ilusi kesadaran rakyat, bahwa mereka telah menang. Tetapi politik dan kekuasaan adalah milik yang mampu membayar. Kekuasaan memperkaya oligarkh, borjuasi oligarkh membiayai kekuasaan untuk mengamankan kepentingan dan akses. Lahirlah disorientasi kekuasaan.

Disorientasi kekuasaan merupakan sejarah politik Indonesia. Nalar politik Indonesia semenjak orde baru yakni terbentuknya oligarkhi seputar lingkaran kekuasaan kekuasaan. Lingkaran ini terbentuk sebagai upaya memperkokoh kekuasaan dan distribusi akses ekonomi politik yang menguntungkan dalam bentuk patron-klien. Lingkaran oligarki membentuk pusat dan pinggiran sebagai mikro politik. Ketergantungan adalah realitas makro politik untuk menggambarkan relasi antara negara dan kapital sebagai pusat dan pinggiran. Politik domestik Indonesia membentuk hubungan pusat dan daerah. Pinggiran dan daerah membudak terhadap pusat.

Politik menampakan wajah sebagai upaya mengejar kekuasaan apapun caranya. Upaya Mempertahankan kekuasaan kerap berakhir dalam kamar-kamar negosiasi, dengan solusi yang mendamaikan konflik kepentingan antara modal dan kekuasaan.

Pada era orde baru penopangnya adalah sentralisme birokratik, instrumen stabilitasnya adalah militer. Pada era reformasi partai politik memainkan peranan penting dalam mempertahankan struktur ketergantungan pusat dan daerah. Relasinya eksploitatif, daerah senantiasa menghamba pada pusat. Demokrasi proseduratif sebagai bingkai, hukum dan lembaga turunannya menjadi instrument legitimasi. Kekuasaan tampil sebagai alat kepentingan ekonomi atas nama keuntungan, oligarkhi terbentuk atas dasar tendensi tersebut.

Desentralisasi Politik; Dalam bayang-bayang Oligarkhi

Indonesia juga melahirkan kritik, lahirlah reformasi sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat atas tatanan politik yang lama. Hasilnya, desentralisasi kekuasaan yang merupakan praktek kebijakan politik kontemporer Indonesia. cita-citanya adalah kesetaraan politik pusat dan daerah serta meluasnya emansipasi rakyat.

Talcott Parson mendefenisikan desentralisasi sebagai pembagian kekuasaan pemerintah oleh sekelompok penguasa pusat dengan kelompok lainnya, masing-masing memiliki otoritas dalam wilayah tertentu dari suatu negara. Selain pembagian kekuasaan sebagai fokus, ada Pengertian lain yang merujuk pada pengelolaan administrasi yang dirumuskan oleh Dennis A Rondinelli dan Cheema G Shabbir, bahwasanya desentralisasi merupakan pengalihan perencanaan pengambilan keputusan, atau wewenang administratif dari pemerintah pusat ke organisasi-organisasi lokal, organisasi semi otonom dan organisasi bentukan negara, pemerintah lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (Syarif Hidayat, 2010). Perspektif politik dan administrasi merupakan dikotomi varian defenisi desentralisasi yang dapat dipergunakan untuk menganalisis praktek desentralisasi di Indonesia semenjak reformasi.

Untuk mencapai kesetaraan politik pusat-daerah dan tumbuhnya emansipasi masyarakat lebih luas, prasyaratnya adalah demokrasi ditingkatan daerah. Sebab, otoritas politik dan administrasi di daerah membutuhkan kontrol masyarakat sehingga desentralisasi tidak melanggengkan struktur ketergantungan. Keberhasilan desentralisasi tidak sekedar terjadi pada pembentukan lembaga atau instrumen pelaksana semata, tetapi terbentuknya kesadaran kritis masyarakat sebagai faktor determinan.

Tanpa kesadaran kritis masyarakat, desentralisasi hanya akan melahirkan oligarkhi baru ditingkat pemerintahan daerah. Dalam sistem demokrasi kesadaran kritis masyarakat bersifat esensial, sehingga kekuasaan merupakan representasi kepentingan masyarakat yang mereka pilih sebagai intrumen artikulatif dan regulator kepentingan tersebut. Inilah yang tidak terjadi satu dasawarsa implementasi otonomi daerah dan desentralisasi.

Otonomi daerah yang dijalankan tidak menjadikan daerah sebagai entitas otonom yang menciptakan regulasi dan menjalankan pemerintahan sebagai manifestasi kebutuhan masyarakat daerah tersebut. Yang terjadi sekedar otonomi administratif, misalkan untuk mengurus perijinan terkait ekploitasi SDA cukup didaerah tidak harus ke pusat sebagaimana pada era orde baru. Secara politik tetap sentralistik. kontrol pemeritah pusat tetap kuat dalam penetuan kebijakan daerah. contohnya bisa dilihat dari implementasi otonomi khusus di Papua dimana kebijakan politik ditentukan oleh pemerintah pusat, yang dibahasakan sebagai otonomi khusus hanya sekedar alokasi dana besar-besaran.

Pemerintah daerah lebih sering menjadi pelaksana teknis dari kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Keberadaan partai politik yang diharapkan sebagai pengontrol, ternyata juga terjebak dalam relasi ketergantungan terhadap pimpinan pusat. Hasilnya, apa yang menjadi realitas politik nasional, juga merupakan kenyataan di daerah dengan skala lebih kecil. Elit politik daerah hanya sekedar menjadi bagian dari sistem untuk mobilisasi suara untuk kekuasaan dan kepentingan pemimpin partai. Lebih miris lagi, partai politik malah menjadi embrio terbentuknya oligarkhi. Dari hulu ke hilir yang ditemukan dalam kekuasaan adalah kelompok-kelompok kecil elit yang senantiasa melakukan shering kepentingan melalui negosiasi.

Selain persoalan administrasi dan perbaikan institusi negara, perubahan tatanan politik secara substantif antara era Orde baru dan reformasi tidak terjadi. Bangunan politik Indonesia semakin sarat dengan pembentukan oligarkhi, bahkan kian meluas. Yang berbeda, oligarhi politik orde baru memusat pada figur sentral yakni The smilling general soeharto. Sementara, pada reformasi oligarkhi di pusat sifatnya lebih cair yang terbentuk atas dasar kepentingan dan negosiasi. Untuk membuktikannya, kita cuma mesti mengumpulkan data tentang kekuasaan daerah dalam tangan segelintir orang dari latar belakang yang sama. Banten bisa menjadi pijakan pertama kita untuk mulai berhitung.

Membangun dari Daerah

Secara logis, otonomi daerah mengimajinasikan otoritas daerah yang kuat sebagai masa depan politik Indonesia. al hasil, beberapa waktu terakhir selalu ada wacana untuk selalu pulang dan membangun daerah, sebagai isu pinggiran dari otonomi daerah. Membangun dari daerah tidak sekedar diletakan pada niat baik. Persoalannya adalah akses atas alokasi kekuasaan. Membangun daerah harus merupakan upaya menciptakan kesetaraan posisi dengan cara memutus matarantai penindasan dalam bentuk relasi pusat dan daerah yang menghisap dan dihisap. Pusat-daerah Indonesia adalah mikro-politik dari tatanan semikolonial (baca:ketergantungan) pusat-satelit sebagai relasi negara dan Kapital internasional. Indonesia, satelit yang terpasung. Jika pembebasan tidak dilakukan maka yang menanti adalah kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang. Oligarkhi tanpa batas (JPT).


Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

Related Article:

0 comments:


 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog