Kamis, 28 Oktober 2010

Membangun Semangat Kewirausahaan Untuk Masyarakat Wilayah Pinggiran

Oleh: John Petrus Talan



Pengganguran merupakan persoalan yang krusial bagi Indonesia. Kemiskinan lalu menjadi konsekuensi logis dari tingginya tingkat penganguran. Kenyataan yang paling sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pemberitaan oleh media massa, tontonan di lampu merah bahkan sampai waktu makan di restoran atau warteg tepi jalan. Pengemis, Pengamen, Jambret merupakan pelarian masyarakat ketika tak punya harapan untuk hidup layak. Mereka adalah anomali yang terlempar dari sistem masyarakat, karena akrab dengan pengangguran dan kemiskinan dalam sebagian besar pengalaman hidup mereka. Fenomena kota besar.

Di wilayah pinggiran kenyataan serupa dalam bentuk yang berbeda tak sulit ditemukan1. Busung lapar, bunuh diri sering muncul dalam berbagai pemberitaan media massa. Akibat dan tindakan frustrasi masyarakat yang paling sering ketika berhadapan dengan persoalan kemiskinan. Saat tak punya makanan dan tak tahan dengan tekanan kemiskinan. Masyarakat Indonesia kreatif dalam mengekspresikan kemiskinannya, dalam banyak cara.

Memang, pengangguran dan kemiskinan telah menjadi banalitas di negara ini. Bagi pemerintah persoalan ini lebih sering ada dalam angka-angka sebagai argumentasi keberhasilan. Bagi lembaga-lembaga non pemerintah lebih banyak hadir dalam program untuk menarik founding. Oleh masyarakat, sikap pasrah adalah cara yang paling tepat agar berdamai dengan kenyataaan. Dalam tangan para intelektual, jadi kata dalam teori yang terlepas dari kenyataan. Sebab itu Rendra pernah menggugat lewat Sajak Sebatang Lisong:



Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

……………………………………….

Lemahnya semangat kewirausahaan masyarakat merupakan salah satu penyebab utama dari kekalnya persoalan pengangguran dan kemiskinan serta sekian akibat yang ditimbulkan. Sementara, kewirausahaan merupakan elemen penting bagi masyarakat yang sedang mengintegrasikan dirinya ke dalam pusaran perekonomian global. Apalagi dengan penerapan otonomi daerah yang mengharuskan kemandirian daerah, akan fatal akibatnya jika harus mempertarungkan rendahnya produktivitas daerah dalam kancah perekonomian global yang digerakan oleh rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, good governance dan persaingan bebas berdasarkan rasionalitas pasar. Tanpa spirit entrepreneurship yang kuat, selamanya Indonesia akan tetap tertinggal dalam keterpurukan.

Kewirausahaan sering dipergunakan sebagai penerjemahan dari kata entrepreneurship. Bisa diartikan sebagai upaya membangun usaha mandiri dan lebih jauh mensyaratkan kreativitas dan inovasi dalam proses penciptaan usaha tersebut. Wirausahawan merupakan orang yang berfikir kreatif dan bertindak inovatif dalam memanfaatkan serta menciptakan peluang untuk mencapai kesuksesan, seperti yang di defenisikan oleh Joseph Schumpeter, “an entrepreneur is a person who is willing and able to convert a new idea or invention into a successful innovation.”

Entrepreneurship merupakan karakter masyarakat kapitalis. Dalam kepustakaan Marxian merupakan akibat dari proggresnya hukum sejarah yang ditentukan oleh determinasi kerja. Menurut Weber merupakan dorongan dari etika Protestan, secara khusus sekte Calvin. Aliran yang muncul setelah reformasi gereja bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme di Eropa. Sementara oleh McCelland, keterbelakangan dunia ketiga merupakan akibat dari rendahnya Need for Achievement masyarakatnya(Fakih, 2002).

Di Indonesia secara konseptual kewirausahaan belum menjadi budaya masyarakat. Praktek kewirausahaan secara parsial hanya bisa ditemui secara di wilayah Jawa namun didominasi dengan usahan kuliner serta industri rumahan. Beberapa kota besar mulai muncul usaha kreatif oleh para pemuda namun belum merefleksikan karakter tersebut sebagai budaya masyarakat. Di Pulau Jawa terlihat bahwa masyarakat mulai memiliki inisiatif untuk berusaha sebagai sistem pertahanan hidup, tetapi belum sebagai ekspresi dari naluri kreatif dan inovatif .

Kondisi tersebutpun bukan merupakan proses yang given, tetapi berkaitan erat dengan konstruksi kebijakan pembangunan pada masa lalu. Sentralisasi pembangunan di Jawa mengakibatkan fenomena urbanisasi. Penumpukkan masyarakat di wilayah ini mendorong masyarakatnya untuk harus menemukan alternatif lain demi untuk hidup. Hasilnya adalah munculnya pedagang kaki lima, usaha-usaha kecil lainnya.

Bagi masyarakat wilayah pinggiran, kewirausahaan masih merupakan keyataan yang langka. Bukan saja prakteknya, bahkan di tataran konsepnya atau istilahnya. Sebagian besar masih hidup dengan cara tradisional, bertani dan nelayan sambil menghadapi kenyataan semakin sempitnya lahan. Kerja sekedar dilakukan dengan tujuan subsisten.

Sulit untuk dipungkiri, kolonialisme dan sentralisasi yang terjadi pada masa lalu menciptakan kesenjangan. Wilayah pusat dan wilayah pinggiran serta relasi yang tidak seimbang antara keduanya, Jawa dan luar Jawa. Pinggiran sebagai subordinasi dari pusat. Pinggiran menjadi realitas yang marginal, miskin dan tertinggal.

Kapital dan jaringan yang minim, sumber daya manusia yang belum terasah, terhambatnya akses informasi merupakan hal yang identik dengan pinggiran. Kebijakan pertumbuhan yang berdasarkan prinsip trickle down effect hanya meninggalkan monopoli, pemiskinan dan ketergantungan masyarakat.

Terlihat secara nyata, di wilayah pinggiran dunia usaha didominasi oleh Pedagang Cina, sementara usaha kecil lebih banyak di lakukan oleh perantauan dari pulau Jawa. NTT yang beberapa tahun terakhir mengisi peringkat termiskin di Indonesia,secara jelas menunjukkan hal ini. Beberapa Propinsi lain di kawasan Timur Indonesia seperti Maluku, Ternate sampai Papua tak jauh berbeda. Di NTT masyarakat setempat lebih memilih menjadi TKI dan merantau ke Malaysia, sementara sebagian besar sarjana menjadi pengangguran karena tidak lolos seleksi CPNS.



Kewirausahaan Untuk Masyarakat Pinggiran

Pengangguran dan kemiskinan memang menjadi fenomena yang menyeluruh di Indonesia. Sebagai negara paska kolonial yang berusaha membangun industrinya sebagai upaya mengejar ketertinggalan, kewirausahaan mutlak diperlukan.

Membangun kewirausahaan di wilayah pinggiran merupakan upaya yang perlu dilakukan agar mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat serta menghadang laju urbanisasi dan akumulasi Kapital terus menerus ke Pulau Jawa. Ketimpangan harus segera diminimalisir, sekaligus memberdayakan masyarakat pinggiran. Pikiran ini didasarkan pada kondisi masyarakat pinggiran yang haus akan alternatif usaha yang lain sementara pengetahuan dan akses sangat terbatas. Indonesia yang egaliter harus diperjuangkan, diberi bentuk.

Emansipasi masyarakat pinggiran harus dibangun agar penciptaan kesejahteraan tidak selalu merupakan monopoli negara. Mewujudkan kesejahteraan harus merupakan upaya dan cita-cita semesta rakyat Indonesia dan negara wajib memfasilitasi upaya tersebut.

Masyarakat pinggiran mesti didorong untuk paham bahwa dunia sudah berubah, untuk bertahan harus mampu bersaing. Sebagai negara yang mengintegrasikan diri dalam pusaran pasar bebas, bercocok-tanam tanpa lahan yang memadai merupakan tindakan bunuh diri. Kita harus berbenah untuk menjadi mandiri. Kewirausahaan adalah kunci Indonesia untuk bangkit dari ketertinggalan.

Membangun kewirausahaan bukan sekedar usaha mandiri, kreatif dan inovatif . Pengetahuan, penciptaan teknologi dan iklim yang kondusif merupakan unsur sentral lainnya. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dan negara. Secara bertahap upaya membangun kewirausahaan terhadap masyarakat pinggiran dapat dilakukan dengan cara:

1. Menginternalisasikan kewirausahaan dalam dunia pendidikan melalui kurikulum di sekolah semenjak dini yang sesuai dengan konteks lokalitas. Konteks lokalitas sangat menentukan bagi perkembangan kewirausahaan disuatu tempat. Sebab pengalaman di wilayah lain tidak bisa serta merta di terapkan di daerah lain. Salah satu contohnya adalah program Jagung-isasi yang berhasil di Propinsi Gorontalo, ternyata gagal ketika diterapkan di NTT, karena adanya perbedaan situasi.
2. Memperkenalkan kewirausahaan bagi mahasiswa baik di perguruan tinggi setempat maupun perantauan. Tidak saja sekedar teori tetapi juga menyediakan ruang eksperimentasi. Kewirausahaan harus menjadi mata kuliah wajib disetiap kampus sebagai bagian dari kurikulum nasional. Mahasiswa secara ideal merupakan tenaga terdidik yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung untuk menggerakkan proses perkembangan masyarakat. Tetapi seringkali yang terjadi malah sebaliknya, sarjana pengangguran dimana-mana karena menyandarkan hidup pada persaingan untuk menjadi PNS. Sementara yang merantau ke Pulau Jawa, sedikit sekali yang memilih pulang ke daerah ketika memiliki kemampuan lebih. Lebih banyak yang kembali adalah yang tidak memiliki kemampuan untuk survive di Jawa. Selain itu upaya perkenalan kewirausahaan bagi mahasiswa dari wilayah pinggiran dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen ikatan mahasiswa daerah.
3. Memberikan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat pinggiran serta mendorong penciptaan ruang usaha. Support atas program ini tidak sekedar modal - karena seringkali di salah gunakan – tetapi juga menyediakan akses baik itu pasar maupun jaringan yang terkait. Untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan kontrol dan pendampingan yang intens atau melalui pembangunan organisasi yang kuat sebagai wadah solidaritas.

Dengan sekian upaya ini, kewirausahaan yang sering di di-retorika-kan sebagai prasyarat untuk menuju masyarakat yang maju, menemukan konteks untuk berkembang dalam gerak sejarah masyarakat. Sebagai kenyataan yang di kerjakan. Perjuangan menuju kebangkitan Indonesia.

Kewirausahaan sebagai budaya yang hidup masyarakat dalam konteks Indonesia tidak bisa sekedar ditempatkan sebagai proses alamiah. Periode sejarah kita terdistorsi oleh kolonialisme. Keberhasilan untuk menginternalisasikan kewirausahaan yang merupakan pengalaman masyarakat Eropa semenjak revolusi industri, dalam situasi masyarakat Indonesia ditentukan oleh upaya dan dorongan yang terus menerus. Secara bertahap dari apa yang bisa kita kerjakan, kita punyai untuk Indonesia Jaya.



Penulis Adalah Peneliti pada Cakrawala Institute
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

Related Article:

0 comments:


 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog