Kamis, 03 September 2009

MERDEKA: Dulu Londo Tenanan Sekarang Londo Ireng

Irwan Bajang

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang anti terhadap penjajahan asing. Pernyataan ini tidak hanya ditulis untuk mengagungkan bangsa sendiri, tapi fakta untuk hal ini telah terbukti, kita saksikan dan kita menikmati hasil dari sikap tersebut, yakni proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Perasaan dan sikap anti penjajahan asing dimiliki seluruh suku bangsa, hal ini bisa kita amati dengan mulai dibangunnya konsolidasi kebangsaan sejak tahun awal kebangkitan bangsa, hingga penggagasan ide untuk mengikatkan diri menjadi bangsa Indonesia yang berdaulat dan bersatu. Kedahsyatan gagasan itu tercermin dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang tertuang dengan format satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.


Dalam bentuk suku-suku bangsa, usia nusantara memang telah berabad-abad lamanya, sejak era sebelum Sriwijaya, bahkan hingga Majapahit dan menjelang penggunaan nama bangsa indonesia. tetapi sebagai bangsa Indonesia, usia kita belum sampai satu abad. Mungkin inilah alasan yang paling kuat, mengapa Bung Karno dan para pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin "nation building and character," pembangunan bangsa dan karakter, karena memang pembangunan bangsa dan karakter negara memang belum kuat benar hingga saat ini.

Selepas dari perjuangan merebut kemerdekaan itu, bangsa ini masih perlu dirawat oleh semua lapisan rakyat, rawatan inilah yang sering terabaikan, pun ketika kita telah merdeka dalam rentang waktu 63 tahun. Akibatnya dapat kita saksikan sendiri, mulai dari protes yang paling sederhana sampai pada keinginan memisahkan diri dari jiwa dan bagian tubuh Republik Indonesia ini. Sejarah kita telah banyak mencatat gejolak itu, OPM, RMS, GAM, Timor-Timur, dan lain sebagainya. Semuanya ini telah memakan korban, mulai dari bentuk yang paling sederhana berupa bentrokan rakyat dengan aparat sampai perang saudara dan pertumpahan darah. Akar dari segala hal tersebut adalah kebelumberhasilan kita menerjemahkan doktrin "pembangunan bangsa dan karakter" dalam cakupannya yang luas.

Lalu, apa yang dimaksud Pembangunan bangsa dan karakter itu? Jawabannya tidak lain adalah, pengejawantahan Pancasila dalam format yang konkret, bukan sebatas wacana dan retorika belaka. Pancasila bukan sebagai semboyan mantra belaka yang harus dilantunkan setiap upcara bendera. Hal lainnya adalah mengintensifkan 'budaya saling menghormati’ antara suku bangsa yang sangat beragam di negara ini. Termasuk juga pemerataan keadilan dan kemakmuran, membongkar struktur kesenjangan, karena kemakmuran melimpah baru dinikmati oleh segelintir orang, sementara kebanyakan orang tetap miskin dan terlantar. Golongan miskin terpuruk dalam jumlah yang masih berkisar 40 juta jiwa. Bagi si miskin, merdeka atau terjajah tidak banyak bedanya; masih saja tetap miskin dan menderita. Pembangunan bangsa dan karakter tidak saja menjadi agenda politik, tetapi dimensi sosial-ekonomi menjadi hal yang perlu diperhatikan.

Konflik mendatar dan konflik menaik dapat ditelusuri sebab-musababnya pada jurang kesenjangan sosial yang masih menganga lebar. Makin jauh dari Jakarta makin terasa betapa rupiah kita menjadi barang langka, hal ini karena sekitar 70 persen uang beredar di ibu kota yang penduduknya tidak sampai lima persen dari 225 juta rakyat Indonesia. Pun kalau punya uang, harga untuk beberapa kebutuhan terasa sangat tinggi untuk dimiliki. Disparitas ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama mengakar, sebab bisul keretakan bangsa bisa meledak sewaktu-waktu.

Bukankah kita tidak mau melihat bangsa ini hancur akibat kita gagal merawatnya? Kita harus tetap optimistis akan kebangkitan Indonesia dengan syarat semua orang mau bangkit dan berpikir jernih, tidak hanya pandai saling menyalahkan. Tetapi, juga harus ditunjukkan sikap apresiatif terhadap segala usaha dan prestasi yang baik, siapa pun yang melakukan: pemerintah atau masyarakat. Sikap "mutual distrust" (saling tidak percaya) dan saling mencurigai harus dihilangkan, karena sejarah telah mencatat banyak hal tentang kegagalan kita akibat rasa saling tidak percaya. Karena hanya dengan rasa saling percayalah, maka kita akan dapat melangkah bersama dan maju untuk membawa perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik dan maju.

Di saat kita sibuk merayakan hari kemerdekaan, jangan sampai beberapa kelemahan dan penyakit yang kita derita kita lupakan. Kelaparan masih menjadi momok menakutkan dimana-mana, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup masih mahal dan tak terjangkau. Dan satu hal lagi adalah, bencana yang diakibatkan oleh kelalain manusia tidak boleh dilupakan, bencana Lapindo jangan sampai hilang dari benak kita. Kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan untuk mereka yang teraniaya. Apa guna merdeka kalau hidup masih teraniaya dan miskin?

Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa para pendiri bangsa dulu melawan penjajahan dengan tujuan menyudahi penderitaan rakyat indonesia. Tetapi setelah kekuasaan berpindah ke tangan sendiri, mengapa penderitaan dan kemiskinan belum juga usai? Adakah yang salah dari kemerdekaan ini? Pemerintahan oleh bangsa sendiri. Jika demikian faktanya, jangan-jangan penguasa baru itu masih meneruskan politik penjajahan atas saudara sebangsanya.

Jika dulu 'londo tenanan', kini 'londo ireng' yang susunan struktur kekuasaannya setali tiga uang dengan penjajah lama. Semoga semua elemen masyarakat sadar akan kesalahan dan dosa kita terhadap bangsa dan negara kita ini, yang sekarang sedang berulang tahun ke-63. Semoga gemblengan derita, mengingatkan kita pada sejarah perjuangan bangsa untuk meraih kesejahteraan dan terlepas dari penderitaan. Mari kita kenang sejenak semboyan yang kerap diucapakan bapak proklamator kita; Jas Merah. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.

Dirgahayu Indonesiaku tercinta.


Agustus 2008

Gambar dicomot dari sini



Related Article:

0 comments:


 
Copyright 2010 CAKRAWALA INSTITUTE. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog